Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara "New Normal" dan Darurat Gagasan Dunia Pendidikan

22 Juni 2020   21:56 Diperbarui: 22 Juni 2020   22:07 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlebih di masa "galau" seperti ini. Anak-anak kita, murid-murid kita, adalah bagian dari pihak "yang terkorban". Terkorban secara psikologis.

Indonesiaku sayang. Betapa jelas termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi kenapa, terkadang yang kami dapat adalah bongkahan retorika.

Termasuk retorika "Merdeka Belajar". Diantarkan dan diviralkan, seolah sesuatu yang baru. Seolah hasil pemikiran brilian. Padalah, secara pribadi, saat hari pertama menginjak bangku kuliah saja, "berpikir terbuka" dalam dunia pendidikan itu telah menjadi hidangan menu idealis dalam hampir semua mata kuliah.

Bahkan buku cerita berjudul Toto Chan, jauh lebih menghipnosis para pembaca terkait bagaimana mengemas kegiatan belajar yang merdeka, yang memprioritaskan substansi.

Pun dalam buku-buku inovasi pembelajaran yang sekaligus sebagai bahan inovasi cara berpikir seperti Quantum Teaching, Quantum Learning dan buku sejenisnya, konsep "Merdeka Belajar" itu telah lebih dulu dipropagandakan.

Baiklah. Saya yang bukan siapa-siapa, cukup tak berdaya untuk sekadar mengantarkan kecamuk jiwa terkait keputusan yang ada. Butuh sekian tangan untuk bisa sampai kepada pejabat berwenang. Hingga dinding sosial medialah yang kemudian dijadikan alternatif untuk menuturkan perwakilan rasa.

Termasuk tentang sedihnya hati saat pejabat kementerian kesehatan saat turut memberi penjelasan di hari pengumuman, menyampaikan bahwa mereka telah menyediakan fasilitas Puskesmas sebagai salah satu emergency exit bila terjadi hal-hal yang tak diharapkan.

(Dalam hati). Puskesmas? Bukankah Puskesmas itu sebuah layanan standar, baik dalam kondisi pandemi maupun di luar itu. Dan apakah itu sebuah gagasan?

Bahkan terkait boleh dan tidaknya menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, tetap dikembalikan kepada pihak sekolah. Artinya, biarlah sekolah yang kemudian kateumbleuhan (bertanggung jawab atas resiko yang ada) bila kemudian terjadi apa-apa. Apakah hal ini adil?

Baiklah. Tugas kami adalah mengumpulkan spirit meski tanpa sokongan spirit. Sebagai muslim, kami (saya sekeluarga, baik di rumah maupun di sekolah), harus kembali kepada tujuan semula, sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an surat Muhammad ayat 7. Bahwa tujuan kami adalah menolong agama Allah. "intansurullaaha yansurkum wayusabbit aqdaamakum".

Untuk keluarga, untuk para orang tua siswa, untuk anak-anak tercinta, untuk seluruh insan pendidikan, untuk para kolega, untuk para sahabat. Mohon do'a tulus untuk kebaikan dunia pendidikan. Mohon do'a untuk tetap lahir gagasan terbaik. Untuk dapat merancang dan mengawal pembelajaran dengan tepat. Untuk ikhlas melampaui sejarah ini. Untuk dapat saling empati dengan segala rupa kondisi.

Jabat hangat dari lubuk terdalam. Sangat yakin. Badai pasti berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun