oleh: Miarti Yoga
Tulisan ini sebagai lanjutan dari satu artikel yang berjudul "Kehidupan Adalah Mata Pelajaran". Isi dari tulisan tersebut, tentang sebuah tafakur atas proses belajar anak, di mana seisi rumah dengan segala konteks dan dinamikanya merupakan sumber belajar yang murah dan berharga.
Nah, suatu pagi, saya tertegun (atau lebih tepatnya melongo), saat si bungsu Zidni yang baru akan menginjak dua setangah tahun, berujar dengan spontan. "Miii, kalau orang meninggal itu bakal hidup lagi ga Mi?" Pertanyaan dengan intonasi menggemaskan, plus dikuatkan dengan aksen ekspresi yang lepas.
Saya pun terjeda alias tak langsung menjawab. Lalu berpikir tentang kalimat yang tepat sebagai jawaban untuk "bayi" 29 bulan.
(Dalam hati). Hakikatnya setiap manusia akan dihidupkan kembali (dibangkitkan). Tapi saya berusaha menakar maksud dari pertanyaan anak saya. Dan asumsi yang saya taksir adalah "apakah orang yang sudah meninggal bisa bangun lagi?"
Lalu saya menjawabnya dengan pelan. "Orang meninggal itu, tidur selamanya, Ziid. Gak mungkin datang lagi. Nah, kalau kita-kita nih yang masih hidup. Ketika kita tertidur, walaupun tidurnya pulaaaas, itu akan bangun lagi".Â
Demikian jawaban saya, sambil hati-hati mengemas kalimat, agar bocah dengan pertanyaan di luar dugaan itu tetap berada dalam "track" ketauhidan plus berkembang logika sebab akibatnya.
Sebagai orang tua dengan segala kekurangan, saya sangat menikmati segala proses alamiah yang tanpa sadar MENUMBUHKEMBANGKAN kemampuan anak, baik dari sisi spiritual, pemahaman, emosional, dan lain-lain. Maka "budaya mengobrol" pun saya masukkan ke dalam kurikulum kehidupan kami di keluarga.
Artinya, sesederhana bangunan dialog antara kita dengan anak-anak, tanpa sadar kita sedang mengantarkan visi misi kehidupan (maaf jika istilahnya terlalu kaku). Dan ketika dengan alamiahnya kita berkumpul dalam satu waktu dan satu tema obrolan, hakikatnya adalah sebuah HALAQAH (lingkaran pertemuan) di mana kita saling berbagi "insight".Â
Bahkan sesederhana berbicara masa lalu kita kepada mereka, tanpa sadar kita sedang mempersuasi pentingnya KETANGGUHAN, pentingnya ENDURANCE, pentingnya HIDUP TAHAN BANTING (lebih enak ketika pengucapan kalimat tersebut sambil diberi latar lagu yang heroik hingga menyerupai monolog).
Dan bila pada tulisan sebelumnya saya mengangkat hakikat life skill sebagai seni bertahan hidup, lalu saya juga bercerita tentang kedua anak saya yang biasa menjadi asesten membantu saya mengetik di smartphone hingga akhirnya mereka terbiasa menulis sesuai kaidah, pada tulisan ini pun saya ingin membuktikan bahwa terhampar luas MATA PELAJARAN di ruang-ruang terdekat kita.
Teringat salah seorang murid di sekolah. Namanya Umar Isbatul Haqq. Ibunya sangat rajin berjualan aneka produk. Tanpa rasa malu, tanpa risih, Umar sang pemuda kecil kala itu, cukup sering dititipi barang pesanan oleh Ibunya untuk kru kami di sekolah. Pun untuk saya.
Lebih tersanjung lagi, saat berapa kali, Umar dengan luwesnya membawa satu kantung plastik kerudung dewasa dan kerudung anak (produk yang relatif berpotensi penolakan bagi yang dititipi tersebab tak sesuai gender). Adapun dengan dibawakannya dalam jumlah banyak, supaya kami leluasa memilih. Dan untuk barang yang tidak kami pililh, dia bawa pulang lagi tanpa beban.
Jujur, bagi saya ini adalah sebuah KONTEKS TAUSYIAH yang nyata dalam kehidupan. Meski bukan dalam bentuk ucapan, namun anak tersebut telah menghadirkan NILAI.Â
Nilai kepercayaan diri sebagaimana filosofi penjual, nilai respect sebagai seoarang anak kepada orang tuanya, nilai sabar atas produk yang tidak dipilih pelanggan. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Yang demikian, menjadi bagian dari teori ADVERSITY QUOTIENT. Kapasitas ketangguhan pribadi manusia. Diajarkan dan ditempa dalam kehidupan nyata. Bukan didapat dari ruang-ruang retorika.
Termasuk dalam kurun tiga bulan ini, saya tengah tertunduk malu dan haru saat si tengah Fariza Tresna Hazimah putri saya, begitu refleksnya bertilawah di setiap ba'da sholat. Hingga capaian tilawahnya insyaAllah bisa lebih dari satu juz. Membacanya pun tak terbatas ruang. Di dalam kendaraan, di sebuah penungguan. Fleksibel.
Meski capaian Fariza terpacu oleh adanya jurnal ceklis harian dari pihak sekolah, namun sistem tersebut biarlah menjadi sebuah alat pacu. Sedangkan proses tilawahnya itu sendiri, saya berharap berbuah karakter, alias tak sebatas kewajiban.
Selautan tadzkirah itu jelas nyata. Dan dalam pengasuhan, kita bisa banyak menyelami filosofi kehidupan.
Do'a terbaik untuk anak-anakku (baik di keluarga saya) maupun putra-putri sahabat di rumah. Semoga musibah istimewa ini menjadi rahim sejarah yang memproses kedewasaan mereka.
Peluk hangat dan salam pengasuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H