Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tafakur, Modalitas dalam Proses Belajar

14 Juni 2020   19:20 Diperbarui: 16 Juni 2020   15:32 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang tua menemani anak belajar. (CreativaImages via kompas.com)

Mungkin di antara kita ada yang sangat getol mengikuti pelatihan ini dan pelatihan itu, namun perkara kebermanfaatan dan aplikasinya dianggap sebagai urusan kemudian. 

Meminjam filosofi masyarakat Sunda, "kumaha engke". Artinya, kita dibuat tak membebankan pada diri untuk bertindak atau melakukan perubahan atas ilmu atau insight atau tips yang didapat.

Dan bukan tak ada. Tipikal orang yang merasa gagah atau merasa bangga atau merasa keren saat dirinya mengikuti pelatihan atau forum belajar tertentu. Bahkan menjadi sangat wajib baginya untuk mengabadikan proses kegiatan berlangsung untuk kemudian dibagikan di media sosial. 

Perkara hasil atau perubahan yang ditempuh, itu pun menjadi hal yang tak prioritas. Karena yang prioritas untuk tipikal ini adalah kesan. Tepatnya, kesan sebagai seorang pembelajar.

Tipe selanjutnya adalah tipe sekadar penasaran. Terlebih di masa sekarang dengan menjamurnya kelas belajar dari mulai yang cara penyajiannya formal hingga kelas belajar dengan iklan versi alay atau versi slebor. 

Bukan tak ada, tipe orang yang daftar sana daftar sini, kuliah whatsapp sana kuliah whatsapp sini, bahkan yang kelas belajarnya membutuhkan paket data yang tak sederhana seperti zoom meeting sekalipun. 

Ditempuhnya untuk memenuhi rasa penasaran. Tepatnya, penasaran dengan tema yang diusung. Urusan mengaplikasikan, itu pun menjadi bagian yang terlibas oleh rasa "hoream" (baca: malas)

Dan bukan tak ada, tipe orang yang cukup dengan menyuruh atau menyarankan orang lain, tanpa bersedia repot mencoba. Dengan sangat bangganya menyampaikan bahwa dirinya baru saja mengikuti sebuah forum belajar, tetapi dengan ringan pula mengharuskan orang lain melakukan ini dan melakukan itu, tanpa mengharuskan diri sendiri melakukan percobaan.

Selanjutnya, mengenai istilah modalitas itu sendiri, apa sebetulnya? Modalitas belajar itu pada dasarnya adalah gaya belajar. Dan kita cukup familier dengan istilah gaya belajar, di mana cakupannya terdiri dari gaya belajar visual, gaya belajar auditori dan gaya belajar kinestetik.

Menurut DePorter dan Hernacki (1992), gaya belajar adalah kombinasi dari cara seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi.

Demikian menurut teori. Bahkan tak jarang, para orang tua, guru, dan insan pendidikan lainnya yang berpikir terbuka dengan memberi RUANG PEMAKLUMAN terhadap masing-masing gaya belajar anak. Maksudnya, anak dengan tipe gaya belajar kinestetik harus banyak difasilitasi kegiatan yang sifatnya praktik, yang sifatnya psikomotorik, dan seterusnya.

Tetapi, pada kenyataan keseharian, seringkali kita sebagai manusia justru "terpaksa", "dipaksa" dan "memaksa" diri untuk belajar. Motifnya pun beragam.

Pertama, karena terdesak atau terhimpit oleh keadaan. Seseorang, dengan kondisi membawa bayi, tidak ada orang di rumah, tidak ada kendaraan selain roda empat, dan harus menuju suatu tempat pada jam yang telah ditentukan. 

Dengan hanya bermodal kemampuan membawa motor, pada akhirnya memaksakan diri untuk membawa mobil. Tentunya, hal demikian bagian dari spekulasi. Tapi apa hendak dikata? Keadaan darurat menumbuhkan jiwa untuk belajar. Apapun tantangannya. Apapun resikonya.

Kedua, karena sebuah gengsi atau harga diri. Pernah seorang polisi pada awal berdinas, menghadapi kondisi di mana sang atasan memintanya menyupir. Padahal posisinya saat itu hanya sedang memarkirkan saja. Bukan berarti mampu atau mahir. 

Cukup dilema, sebetulnya. Di satu sisi, dirinya tak kuasa menolak. Selain malu terhadap pimpinan kalau sampai tak berkhidmat memenuhi perintah, juga memang sebagai bentuk menjaga harga diri alias menjaga gengsi.

Ketiga, karena telah tak berkenan lagi menjadi seorang yang lemah alias selalu meminta bantuan. Ini pengalaman saya pribadi. Di satu sisi, saya harus berjibaku dengan laptop. Dari sesederhana mengoperasikan Microsoft word dengan segala printilannya hingga berinovasi Microsoft power point untuk segala kebutuhan.

Dalam prosesnya, hal demikian tentu tak sederhana. Untuk beberapa hal, tentunya saya butuh bantuan. Bahkan seteknis mengoperasikan dan membagikan link google drive, awalnya dihadapi dengan berkerut kening. 

Namun saya memilih serba belajar sendiri hanya karena "enggan" jika harus berulang meminta tolong. Terlebih saat yang dimintai tolong kurang kondusif untuk disela waktunya. Singkat cerita, "Minta tolong itu pediiiiiiih, jendral".

Bismillaahitawakkaltu 'alallah.

Teori-teori yang ada, hakikatnya adalah sebuah pemahaman untuk kita berpijak dan sebuah kekayaan untuk kita berinovasi dan berpikiran terbuka. Berbagai penyesuaian, itu adalah sebuah "skill" tersendiri untuk lakukan sebagai saran bertahan hidup.

Adapun kembali pada modalitas belajar. Setiap kita sejatinya adalah pembelajar. Dan bukan orang yang belajar dengan konteks semata-mata untuk memenuhi perintah. Kita semua adalah pelaku belajar. Pembelajar sepanjang hayat. 

Pembelajar di kala luang maupun sempit. Pembelajar sebagai paasngan, sebagai orang tua, bahkan sebagai anak dari orang tua kita. Pembelajar dalam kondisi dampak pandemi maupun di luar dampak pandemi.

Dan salah satu keistimewaan manusia dalam hal ihwal belajar adalah kemampuan MENGELABORASI alias kemampuan mengembangkan, kemampuan berinovasi, kemampuan berkreativitas. 

Bahkan dari satu kalimat atau satu quote atau satu teori yang didapat dari bangku kuliah atau bangku pelatihan, itu bisa menjadi kekayaan wawasan yang tak terbatas. Tentunya, jika kita bersedia untuk berkembang dan mengembangkan. Bukan untuk menjadi insan yang STAGNAN.

Selamat mengawali pekan dengan masing-masing energi terbaik. Mari tetap saling meguatkan dengan do'a-do'a termustajab.

oleh: Miarti Yoga
(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun