Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bekal Pengasuhan Anak, Kenali Kepribadian Diri

12 Juni 2020   22:37 Diperbarui: 13 Juni 2020   17:30 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mengasuh anak. (sumber: pixabay)

Berbicara KEPRIBADIAN, ini ibarat jantungnya kehidupan manusia. Artinya, baik dan buruknya kepribadian seseorang, itu yang akan menentukan baik dan buruknya kehidupan dirinya.

Berbicara KEPRIBADIAN, ini ibarat seni menghadapkan kepercayaan. Artinya, orang yang berkepribadian baik, akan memiliki ruang (baca: profil) kebaikan tersendiri di mata orang-orang sekitar. 

Sebaliknya, dengan kepribadian yang kurang baik, dengan sikap yang tidak ramah, dengan gaya bicara yang cenderung jauh dari kesantunan, lingkungan sosial menjadi kurang respect.

Berbicara KEPRIBADIAN, adalah berbicara sikap atau perilaku yang tampak. Yang terlihat. Sekalipun ada manipulasi (menutupi kekurangan diri), tetapi yang ditampakkan ke muka adalah hal-hal yang baik, hal yang nyaman di mata orang, hal yang normatif dalam pandangan. 

Contoh yang sangat banyak kita temukan dalam keseharian, misalnya ada orang yang hatinya kesal atau marah terhadap orang lain. Dengan bekal kepribadian yang baik, maka dirinya akan tetapo menjaga sikap, akan tetap menjaga gestur tubuh, akan tetap menjaga raut wajah, akan tetap berpikir tentang waktu dan cara yang tepat untuk dirinya menyampaikan.

Sederhananya, sebagai orangtua maupun sebagai calon orangtua, kita memahami kepribadian adalah sebagai upaya SABAR dan upaya MENAHAN DIRI dari sikap destruktif (merusak), dari sikap spontan (baik ucapan maupun tindakan), dari sikap konfrontatif (menyerang), dari tradisi memberi label negatif kepada orang-orang sekitar terutama kepada anak, dari tradisi menyelahkan orang lain, dan lain-lain.

Terlebih kita sebagai muslim. Memahami kepribadian adalah sebagai jalan BELAJAR MENGEKANG HAWA NAFSU. Lalu apa hubugan antara kepribadian dengan hawa nafsu?

Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi
Sederhananya adalah, kita sebagai manusia dewasa, belajar MENGEKANG semua rasa tak baik yang sangat muncul dan termuntahkan secara spontan. Kesal, benci, dendam, tidak puas, keinginan untuk menuntut, dan atau sejenisnya, diupayakan dapat diredam, minimal dengan dengan menjaga sikap yang tampak (raut muka, dan lain-lain).

Dan poin "mengekang hawa nafsu" ini, lagi-lagi linear dengan salah satu rumpun terapi hypnosis, yakni "Motion create emotion" dan sebaliknya "Emotion create motion".

Artinya, pembenahan hal-hal fisik pada diri (gestur, tatapan mata, dan lain-lain) akan memengaruhi/menggiring kondisi hati. Pun sebaliknya. Kondisi hati akan memberi pengaruh besar terhdap kemunculan sikap tubuh.

Jadi, menciptakan kepribadian yang baik adalah BERHATI-HATI dalam menjaga sikap. Seberapa penting, kita perlu berbekal kepribadian yang baik? Jawabannya adalah SANGAT PENTING.

Banyak terjadi kemunculan sikap negatif pada diri anak tersebab oleh sikap tidak baik orangtua. Contoh sederhana, orang tua yang terlampau CEMAS dan nyaris tak mampu menyembunyikan kecemasannya di hadapan orang lain, tanpa sadar menjadi ENERGI BURUK, khususnya bagi anak-anak di rumah. 

Pun dengan orangtua yang seringkali tak mampu menahan impulsivitas (memarahi anak di depan orang lain, mencak-mencak kepada suami di depan anak, menuntut banyak hal dengan kata-kata yang kasar), tanpa sadar menjadi pemandangan yang terserap oleh anak-anak sehingga anak-anak memiliki impulsivitas yang sama.

Selanjutnya, yuk kita menggali beberapa filosofi terkait KEPRIBADIAN.

1/ 
Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam.

Artinya: Kepribadian itu adalah bekal kita bersosial. Baik lingkup sosial terkecil (hubugan suami isteri, hubugan orangtua-anak, hubungan dengan teman), maupun lingkup sosial lebih luas (tempat kerja, organisasi, masyarakat, dan lain-lain).

2/
Perkembangan kepribadian bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.

Artinya: Maukah dan bersediakan kita belajar? Karena kepribadian itu bisa didesain. Sikap itu bisa berubah. Perbaikan itu mutlak akan tercapai. Persoalannya, ada ikhtiar atau tidak. Ada motivasi atau tidak.

3/
Seorang pemimpin perusahaan, penting sekali untuk merekrut karyawan yang sopan, jujur, rajin dan punya rasa hormat, karena tanpa hal tersebut, harmoni perusahaan akan tidak sehat dan akhirnya akan menurunkan kinerja perusahaan.

Artinya: Kepribadian adalah penentu indahnya jalinan komunikasi, baik komunikasi paling intim di antara suami-istri dan orangtua-anak, maupun jalinan komunikasi yang lebih luas. 

Dan kepribadian adalah penentu kondusivitas sebuah jalinan sosial. Manakala sikap negatif bertumbuh dalam sebuah jalinan, maka tidak kondusiflah jalinan tersebut (persahabatan, ruang lingup pekerjaan, pertemanan di sekolah, dan lain-lain)

4/
Setiap individu akan terkesan pada "style" atau cara seseorang bertindak, berpikir, beremosi, menilai orang lain, dan sebagainya, yang semuanya merupakan bagian dari kepribadian.

Artinya: Mendesain kepribadian diri adalah berhati-hati dalam bertindak, dalam mengambil tindakan, dalam berpersepsi, dalam menilai dan menghakimi orang lain,  dalam menentukan cara pandang, dan lain-lain.

***

Nah, untuk perbendaharaan wawasan, penting untuk kita mengetahui kepribadian yang sehat. Untuk apa? Untuk supaya kita punya kiblat tetang sikap. Beberapa di antaranya;

  • Mampu menilai diri sendiri secara realisitis (sadar dengan kelebihan dan kekurangan diri baik secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya)
  • Mampu menilai situasi secara realisti (wajar menyikapi takdir, mampu menakar waktu yang tepat, dan alin-lain)
  • Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistis. Artinya, dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan mereaksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami "superiority complex" apabila memeroleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistis.
  • Menerima tanggung jawab (sadar dengan amanah yang didapat, ikhlas menjalani keharusan, merasa yakin akan mampu mengatasi masalah)
  • Kemandirian (memiliki sifat mandiri, baik  dalam cara berpikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya)
  • Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak)
  • Berorientasi tujuan. Artinya, dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
  • Berorientasi keluar (ekstrovert). Artinya, bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.
  • Penerimaan sosial (mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain)
  • Memiliki filsafat hidup (mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya).
  • Berbahagia, di mana hal ini didukung oleh faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang).

Demikian saya sampaikan. Sejenak, kita menepi dalam sujud-sujud indah kita untuk sekadar bertafakur atas spontanitas dan sikap-sikap tak baik yang pernah kita lakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun