Demikian bagi kita para orangtua. Kadang masih banyak di antara kita yang harus menghadapi manjanya anak-anak.
Mereka menangis, merajuk, memaksa, minta dipenuhi keinginan dengan segera. Padahal jika menakar usia, sudah tak tepat untuk bersikap demikian pada orangtuanya. Tanpa sadar, hal demikian bagian dari TAK ADANYA JARAK kesantunan dari anak kepada orangtua.
Atau bagi kita para guru. Seringkali kita sebagai guru di zaman ini, terjebak dengan keharusan menghadapi murid dengan ramah. Tanpa sadar kita melonggarkan aturan.
Lalu para murid sekehendak meminjam dan memainkan barang privasi milik guru seperti laptop dan smartphone. Atau sesederhana para murid yang menyemuti meja guru tanpa aling-aling. Tanpa menakar orang yang dihadapi.
Sejatinya hal demikian adalah pembelajaran social distancing. Karena kedekatan hati dan kedekatan jiwa dari guru ke murid, bukan untuk ditafsirkan sebagai tindakan serba bolehnya murid bersikap terhadap guru.
Persis dengan etika bertamu. Orang yang tidak diajari social distancing oleh keluarganya, atau memang tidak dibangun filosofi social distancing-nya, maka akan sangat mungkin memasuki rumah orang dengan "selonong boy" alias masuk tanpa permisi.
Pun saat sedang berada di dalamnya (di rumah orang), pada akhirnya kurang memiliki takaran. Bicara sekehendak, mengomentari perihal atau sekeliling rumah seolah dianggap biasa, dan lain-lain.
Bahkan dalam kehidupan rumah tangga sekalipun. Kekesalan kita terhadap pasangan, dengan segala rupa masalah yang kita keluhkan, kita dituntut untuk belajar JAGA JARAK. Lebih tepatnya menjaga JARAK PERASAAN. Tak setiap kesal layak kita utarakan, tak setiap keluhan tepat untuk kita muntahkan. Tak setiap masalah harus berakhir dengan keputusan emosional.
Tak terkecuali dengan aturan dihindarinya jabat tangan. Ini hadiah Corona untuk kita lebih membangun attitude. Dan Islam telah jauh-jauh hari mengajarkan kita untuk tak berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
Sedangkan kita banyak yang terjebak dengan budaya orang Barat di mana pertemuan antara laki-laki dan perempuan itu diberi aksen khas berupa pelukan (kata orang Sunda, "silih gabrug").
Ironisnya lagi, banyak di antara kita dengan bangganya melakukan itu. Terlebih saat melihat banyak kiblat seperti para selebriti.