Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Adab dari Filosofi Jaga Jarak

9 Juni 2020   20:50 Diperbarui: 10 Juni 2020   14:07 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teringat dengan iklan layanan kepolisian dalam bentuk tagline. Beberapa di antaranya;

"Jaga jarak = aman"
"Ngebut berarti maut"

Sekelebat, hal demikian sangatlah biasa. Bahkan kita sekadar membacanya secara tekstual. Bukan secara substansif.

Pun hari ini, saat hadirnya dinamika musibah Corona. Kita dikenai aturan untuk "jaga jarak". Dalam antrean di tempat-tempat umum, dalam penyelenggaraan agenda, dan lain-lain.

Ribet? Tentu saja. Repot? Itu pasti. Tapi itulah nilainya. Nilai kepahaman kita untuk menghindari hal yang tak diinginkan. Dan tentunya, bukan sekadar taat pada aturan.

Tetapi, ada MAKNA yang jauh lebih dalam dari sekadar jaga jarak secara fisik. Melainkan jaga jarak secara filosofis dan psikologis.

Maka, sangat wajar kita berterima kasih pada hadirnya musibah ini. Kita diharuskan menjaga jarak, kita diharuskan menutupi mulut dan hidung dengan masker, bahkan kita dilarang untuk bepergian sekehendak.

Ini adalah tadzkiroh (ladang belajar) yang indah.

dokpri
dokpri
Bayangkan, kita yang terbiasa (mungkin karena faktor tabiat) sekehendak dalam berbicara maupun bersikap, lalu dengan adanya social distancing kita jadi terbatas berjumpa langsung dengan orang. Tanpa sadar kita dibelajarkan oleh Allah untuk lebih senyap. Lebih menahan lisan.

Tak terkecuali adab dari kita kepada guru, kepada pimpinan, kepada orang yang dituakan. Meski hari ini bukanlah zaman feodal di mana kita memang harus "ajrih" atau "madep" (baca: tunduk santun dan penuh kehati-hatian), tetapi kesantunan kepada orang yang selayaknya kita hormati, tetaplah kita jaga. Kita pelihara.

Bahkan meski kehidupan lingkungan kerja kita bukan lingkungan diktatoris, tetapi social distancing tetap saja untuk kita maknai. Tentunya, sebagai bahan kehati-hatian kita bersikap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun