Teringat dengan iklan layanan kepolisian dalam bentuk tagline. Beberapa di antaranya;
"Jaga jarak = aman"
"Ngebut berarti maut"
Sekelebat, hal demikian sangatlah biasa. Bahkan kita sekadar membacanya secara tekstual. Bukan secara substansif.
Pun hari ini, saat hadirnya dinamika musibah Corona. Kita dikenai aturan untuk "jaga jarak". Dalam antrean di tempat-tempat umum, dalam penyelenggaraan agenda, dan lain-lain.
Ribet? Tentu saja. Repot? Itu pasti. Tapi itulah nilainya. Nilai kepahaman kita untuk menghindari hal yang tak diinginkan. Dan tentunya, bukan sekadar taat pada aturan.
Tetapi, ada MAKNA yang jauh lebih dalam dari sekadar jaga jarak secara fisik. Melainkan jaga jarak secara filosofis dan psikologis.
Maka, sangat wajar kita berterima kasih pada hadirnya musibah ini. Kita diharuskan menjaga jarak, kita diharuskan menutupi mulut dan hidung dengan masker, bahkan kita dilarang untuk bepergian sekehendak.
Ini adalah tadzkiroh (ladang belajar) yang indah.
Tak terkecuali adab dari kita kepada guru, kepada pimpinan, kepada orang yang dituakan. Meski hari ini bukanlah zaman feodal di mana kita memang harus "ajrih" atau "madep" (baca: tunduk santun dan penuh kehati-hatian), tetapi kesantunan kepada orang yang selayaknya kita hormati, tetaplah kita jaga. Kita pelihara.
Bahkan meski kehidupan lingkungan kerja kita bukan lingkungan diktatoris, tetapi social distancing tetap saja untuk kita maknai. Tentunya, sebagai bahan kehati-hatian kita bersikap.