Sebagai orang tua yang anak-anaknya berada di jalur sekolah, saya tak ingin mengosongkan waktu di rumah untuk mengawal anak-anak belajar. Terlepas, ketika di sekolah ada ritual bertatap muka antara saya dengan anak saya dalam sebuah kelas/pelajaran. Saya tetap ingin membangun suasana belajar di rumah. Sesederhana apapun itu. Bahkan sesederhana "ngobrol" sekalpun. Kenapa?
Alasan pertama adalah, sebagai napak tilas untuk almarhumah ibu saya yang begitu getol mendampingi saya mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tentunya, bukan karena mampu, melainkan karena ingin membantu memajukan anaknya.Â
Dari mulai berhitung (matematika) dengan bantuan media sederhana berupa batangan kecil bambu-bambu, hingga belajar membuat kalimat. Bahkan dalam suasana khas mati lampu di sebuah "lembur". Terasa betul sebuah suasana "jadoel".
Pun untuk alamarhum bapak yang setia membelikan literatur, dari mulai buku-buku pelajaran, hingga majalah dan koran sesuai kebutuhan. Ingat betul, pembagian majalah yang bapak beli. Tabloid NOV* untuk ibu saya, koran Kom**s atau Pikir** R**yat untuk saya, tabloid "B*LA utuk kakak saya. Baru tersadar hari ini, bahwa itulah asupan literasi dari bapak untuk kami.
Hari ini, dengan segala kekinian dan percepatan teknologi, tersedia ragam media literasi untuk anak-anak. Dari mulai komputer, smartphone, buku-buku ensiklopedia dengan harga tak sederhana namun berbanding lurus dengan isi dan tampilan, hingga aplikasi-aplikasi kuis digital yang bisa kita kembangkan sesuka hati. Singkat cerita, melimpah.
Hal paling sederhana yang biasa saya lakukan pada anak-anak adalah meminta bantuan untuk megetik di tablet saya. Alasannya memang cukup masuk akal. Biasanya, pada saat saya mengerjakan tugas domestik (mencuci piring, memasak, dan lain-lain), namun ada hal mendesak yang harus saya jawab atau sampaikan. Atau pada saat saya sedang melayani si kecil (anak bungsu yang masih berusia batita) di mana dirinya tak berkenan saya memegang smartphone.
Pada kondisi demikian, saya meminta di antara dua kakaknya untuk membantu. Teknisnya, saya mendiktekan, anak saya yang mengetik. Dari kebiasaan tersebut, hal demikian pada akhirnya menjadi refleks ketika konteksnya berulang.
Dari sekadar diminta bantuan, tanpa sadar, lama kelamaan pada akhirnya menjadi semacam kuliah kaidah bahasa. Mereka biasanya bertanya penggunaan titik, koma, pembubuhan tanda Tanya, penggunaan huruf kapital. Semakin sering diminta bantuan, pertanyaan pun jadi melebar. Dari yang tadinya sebatas tanda baca, lalu melebar ke kata depan (konjungsi) dan awalan. "Nulis di-nya digabung atau dipisah?" Demikian anak saya biasanya bertanya.
Jawaban saya pun mengalir dengan sangat tidak formal. Saya jelaskan tentang di- yang penulisannya digabung atau dipisah. Sebuah kenikmatan mengajarkan kaidah bahasa Indonesia di ruang cuci piring. Dan saya yakini hal demikian sebagai mata pelajaran.Â
Saya yakin bahwa, hal yang ada di dekat kita, itu dapat kita manfaatkan sebagai mata pelajaran. Terlebih saat kita megajak anak-abak memasak. Dari mulai "mengapa memasak santan harus harus diaduk" hingga tentang bagaimana efektivitas menanak nasi di "magic com" dengan bekal air mendidih. Itu semua kekayaan sains yang bisa mereka dapat. Meski sesederhana dari ruang dapur.
Pun untuk soal baca tulis. Meski di sekolah, pada saat usia TK atau kelas 1, mereka berinteraksi dengan pelajaran pra baca tulis, saya termasuk yang menikmati proses belajar membaca anak-anak. Sehingga atas izin Allah, di usia jauh sebelum masuk jenjang SD, dengan hanya bermodalkan membaca buku cerita, pada akhirnya berbonus bisa membaca.
Dan hari ini, saat si sulung yang sedari kecil begitu suka dengan dunia menggambar, lalu begitu masuk usia kelas 6 kami kenalkan perangkat laptop untuk dirinya menjelajah aplikasi Corel Draw, tak menunggu sampai setahun, dirinya sudah mampu melayani kami sekeluarga dalam pembuatan logo. Mulai dari logo literasi Sekolah Zaidan yang bertajuk Sabda Sawarga, logo komunitas yang saya ampu yakni Komunitas Keluarga Ramah Anak, hingga logo nama saya sendiri untuk kebutuhan membuat materi presentasi.
Nikmat Tuhan mana lagi yang harus kudustakan. Betapa menjadi ladang kesyukuran, saat mata pelajaran-mata pelajaran yang secara perlahan dan alamiah didapati oleh anak-anak. Mewujud skill. Mewujud kecakapan.
Ah, ini hanya sekelumit perwakilan rasa "lebay" yang mudah-mudahan menjadi pencerah. Bahwa banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menjadikan rumah kita sebagai madrasah bagi anak-anak kita sendiri. Terlepas, apakah anak kita seorang siswa definitif di sebuah lembaga pendidikan. Andil kita tetap bisa mengemuka.
Allohu'alam bishshowaab.
Salam sayang untuk Ananda di rumah.
Yang selalu ingin terus belajar.
Tulisan ini sekadar rasa bangga yang lazim adanya untuk desainerku sayang, Khairy Aqila Shidqi dan untuk calon dosen kesayangan, Fariza Tresna Hazimah. Selamat menempuh perjalanan belajar untuk kelak kalian mengelola sekolah yang Umi dan Abi wariskan. Tentunya, dengan sepenuh sungguh. Bersama, ilmu, bersama metodologi, bersama dedikasi, bersama niat dakwah.
Melangkahlah, kesayangan. Hidup adalah berpetualang dan berbagi kebaikan. Biarkan semakin banyak mata pelajaran dari kehidupan, yang semuanya itu mampu menumbuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H