Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Belajar di Rumah di Tengah Dampak Wabah

4 Juni 2020   09:07 Diperbarui: 4 Juni 2020   09:15 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Miarti Yoga

(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)

Tiga bulan sudah, kita bersama melewati "hari-hari di rumah", di mana salah satu dampaknya adalah adanya transisi pembelajaran. Yang pada mulanya, kegiatan pembelajaran itu dilaksanakan di sekolah, sekarang dilakukan secara utuh di rumah.

Dan bukan hal sederhana. Menanggapi, mengawal dan mendokumentasikan kegiatan belajar jarak jauh. Terlebih konteks yang terjadi merupakan hal yang tiba-tiba bahkan tak biasa. Sehingga cenderung tanpa persiapan dan menjadi transisi tersendiri.

Saya yakin, di antara kita dengan perbedaan cara menyikapi, dengan perbedaan kemungkinan mendampingi, bahkan dengan perbedaan faslititas yang dimiliki, secara umum, mengawal buah hati dalam konteks belajar jarak jauh itu memang tak sederhana.

Adapun bagi yang merasa "mudah-mudah saja" atau nyaris tanpa masalah, atau sangat lancar jaya, saya turut berbahagia. Dari mulai negosiasi yang sangat sederhana hingga penolakan yang verbal. Dan ini WAJAR terjadi. Ini FITRAH adanya. Namun tentunya, dakam konteks kondisi di rumah, segala rupa DINAMIKA akan mungkin terjadi.

Sekarang sejenak mari kita bandingkan. Antara sekolah dan rumah.

  • Adanya rangkaian tugas, menjadikan sekolah lebih bernuansa SKOLASTIK dan SISTEMIK. Bahkan meski sekolahnya membangun kelekatan emosional sekalipun.
  • Adanya struktur penjadwalan, menjadikan sekolah terkesan lebih FORMAL
  • Sebagai tempat berhimpunnya anggota keluarga, rumah akan dianggap lebih memiliki ruang KOMPROMI
  • Sebagai tempat bertolak dan kembali pulang, secara psikologis, rumah akan lebih terasa ALAMIAH

Hal ini menguatkan logika bahwa banyak anak yang kemudian lebih mendengar Bapak Ibu gurunya daripada instruksi langsung dari Ayah Ibunya. Sekali lagi, ini fitrah. Wajar. Bahkan, meski sedekat apapun secara emosional antara guru dengan siswa di sekolah, tetap saja mereka menganggap bahwaa sekolah itu lebih skolastik dan lebih sistemik. Maka, wajar bila ruang negosiasi di rumah itu mereka buat lebih lebar.

Terlebih dengan adanya adanya pergeseran paradigma dan persepsi. Wajar jika kemudian memunculkan DINAMIKA dalam proses pembelajaran jarak jauh atas dampak Covid-19.

Dahulu, kita hidup pada masa di mana PR adalah sesuatu yang sangat KHAS dan sangat MUTLAK yang dibawa oleh anak dari sekolah ke rumah. Hari ini, sekian orang tua berkeyakinan bahwa PR bukan satu-satunya jalan sukses anak, dianggap kontroversial, bahkan dianggap tidak ramah anak.

Nah, hal ini kita pahami bersama. Bahkan KULTUR antara satu sekolah dengan sekolah lainnya pun bisa berbeda. Pun dengan persepsi masing-masing individu. Ada yang beranggapan tugas dari sekolah itu tetap bernilai positif sebagai sarana REINFORCEMENT. Ada pula yang merasa "harus cukup" dengan adanya pembelajaran di sekolah alias tak harus ada tugas dibawa ke rumah. Hal ini cukup berpengaruh terhadap konteks belajar daring yang sama-sama kita lakukan saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun