Mungkin kalau dalam "mode" hiperbolisnya orang Sunda, kejenuhan kita menghadapi hari-hari dampak pandemi, bisa jadi akan direspons dengan frasa "Tos teu kiaaaaaaat atuh Gustiiii".Â
Atau dalam level lebih dramatis, bukan tak ingin untuk melakukan spontanitas-spontanitas gerakan seperti "kokosehan", "gugulutukan" dan gerakan dramatis lainnya (bila digeneralisasikan, kurang lebih semacam eskpresi tempertantrum seperti guling-guling tak jelas arah sambil teriak histeris).
Intinya, sipapaun kita, bertikpikal tenang maupun reaktif, tentu memiliki rasa yang sama bahwa memang sudah tak tahan ingin segera kondusif. Senormal-normalnya.
Namun yang membedakan, tentu saja terletak pada penyikapan. Apakah rasa yang membuncah itu untuk diikuti dengan emosional, atau diredam dengan pola pikir yang jernih. Maka pada akhirnya menjadi pilihan. Kita tetap logis mencerna persebaran yang terus meningkat, atau malah secara spekulasi bergerak ke sana ke sini sesuka hati.
Dan di luar segala keterbatasan kita menghadapi musibah ini, setidaknya kita belajar untuk TAK LATAH menyalahkan masalah. Karena sekeras-kerasnya kita menyalahkan masalah, tetap tak akan ada solusi selama kita tidak berikhtiar.
Ibarat saat kita dihadapkan pada mati lampu berjam-jam. Lalu kita menggerutu karena tak bisa menanak nasi. Padahal memasak nasi secara manual saja masih dilakukan.Â
Terlebih perlengkapan standar seperti panci atau dandangnya memang ada. Jika fokus pada masalah tak adanya aliran listrik, maka keluarga kita tak bisa makan. Lain halnya dengan ketika kita berpikir ALTERNATIF.
Berikutnya, biarlah MUSIBAH ISTIMEWA ini menjadi sebuah KILAS BALIK. Kilas balik atas segala kekurangan dan keterbatasan diri.
Mengapa harus menjadi sebuah kilas balik? Karena jangan-jangan, mengeluhnya kita hari ini, tanpa sadar adalah sebuah AKUMULASI atas keluhan-keluhan yang muncul jauh sebelum Corona ada.
Contoh Pertama
Ketika hari ini kita menyampaikan dengan verbal terkait menurunnya penghasilan, tentang pendapatan yang menurun drastis, tentang proyek yang terpaksa harus batal, tentang THR yang tidak bisa didapat, tentang gaji yang tidak utuh, dan masalah sejenisnya, bisa jadi kita lupa dengan TITIK NADIR yang pernah kita lalui.