oleh: Miarti Yoga
(Penulis dan Konsultan Pengaushan)
Bicara soal kesalahan anak, biasanya, sangaaaaaaat dekat dengan penghakiman "Emak" atau "Bapaknya".
Contoh Pertama
Nilai ujian anak tak sesuai harapan. Kita dibuat sewot saat mengomentari. "Tuh, kan kamu mah gak mau denger Mama". Padahal, andil kita membantu dan memacu untuk anak mengungguli perolehan ujian, nyaris sangat minim. Tetapi, giliran menghakimi, tetap nomor wahid.
Contoh Kedua
Anak kecil kita terjatuh atau menjatuhkan benda tertentu hingga rusak. "Nah lhoooo. Mama bilang juga apa. Kalau jalan tuh mestinya lihat-lihat. Terus itu mata ditaroh di mana?" Padahal, tanpa kita memberi "warning" pun, jika anak memang harus jatuh, ya mutlak terjadi. Terlebih bagi anak, jatuh atau tanpa sengaja menjatuhkan benda, itu perihal yang lazim terjadi.
Contoh Ketiga
Anak kita urung mengikuti sebuah kegiatan dan akhirnya kembali pulang ke rumah. Dalam kondisi cukup kecewa, lalu kita menghadiahi komentar yang sebetulnya semakin mejadikan dia terpuruk. "Makanya, kata Mama juga, apa-apa tuh pake perhitungan. Dibilangin dari kemarin-kemarin, malah cuek aja. Maunya kamu apa sih?"
Dari ketiga  contoh tersebut, betapa super power-nya seorang Mama atau Papa. Bahkan dengan refleksnya frasa yang sangat familier "Mama bilang juga apa", seolah segala kekuasaan itu bertampuk di orang tua. Seolah-olah, "orang tua mah mutlak benar, sedangkan anak mah mutlak salah".
Bahkan tak jarang, tercipta kondisi di mana andil kita APA ADANYA, sedangkan penghakiman atau komentar kita LUAR BIASA.