Bandingkan dengan kalimat; "Kaaaaak, coba nggak usah terlalu heboh. Jalannya lebih hati-hati. Khawatir kena guci, terus pada pecah. Terus khawatir kaca-kaca lemarinya juga pecah kalau kakak bolak-balik lari di ruangan."
Peringatan kedua, insyaAllah sudah bersama pemahaman logika sebab akibat dan motivasi internal. Maksudnya, anak sudah kita pahamkan tentang kehati-hatian saat dirinya bermain di dalam rumah dan anak sudah kita berikan peringatan agar dirinya memperhitungkan bahaya saat ia bermain terlalu heboh.
Dan masih banyak konteks senada di mana kita spontan mengingatkan anak dengan nada ancaman tanpa memperhitungkan logika. Bahkan hanya dengan bermodal perasaan takut terhadap orang-orang yang bersangkutan.
Ini perlu kita tafakuri bersama. Bahwa kebiasaan kita mengingatkan dengan model demikian, tanpa sadar merupakan pola berpikir kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari dalam menghadapi orang-orang di sekitar.
Contoh kecil, saat kita mendapat undangan rapat. Kita sadar bahwa rapat tersebut adalah rapat penting. Namun sayangnya, motivasi kita menghadiri rapat tersebut adalah karena takut terhadap pimpinan atau terhadap penanggung jawab yang bersangkutan.
Takut kalau-kalau nanti nama kita disebut/dipanggil, takut kalau ketidakhadiran kita dikomentari, takut jika ketidakhadiran kita dipermasalahkan.
Padahal, jika kita mematok persepsi yang bijak, kita tak akan menghadirkan perasaan dan ucapan spontan terkait rasa takut itu. Kita akan berpikir netral plus berpikir logis bahwa menghadiri rapat tersebut memang penting.
Jadi, REKAYASA PIKIRAN kita tak melebar ke mana-mana. Adapun ketika kita tak bisa menghadirinya, cukup katakan secara lugas tanpa harus melebar-lebarkan alasan.
Pun saat kita tengah menempuh kewajiban di tempat kerja atau di ruang-ruang organisasi. Kita mengerjakan ini itu, kita berjibaku tapi smabil ngomel-ngomel, kita mengeluhkan ini itu, lalu kita berdalih (lebih tepatnya menggerutu) bahwa semua yang kita lakukan itu untuk memenuhi perintah pimpinan dan target-target perusahaan.
Kita lupa bahwa keluhan tersebut menjadi tanda ketidakikhlasan kita menjalani. Dan konteks demikian tanpa sadar men-drive kita dalam berucap. Termasuk dalam mengingatkan anak-anak. Mengingatkan dengan ancaman.
Sangat yakin. Bahwa di antara sahabat sholeh-sholehah di sini bukan bagian dari model orangtua yang ditampilkan dalam tulisan ini.