Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pendidikan Keluarga

Menjalani Peran Pengasuhan Berkesadaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Branded

18 Mei 2020   06:50 Diperbarui: 18 Mei 2020   06:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Miarti Yoga

(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)

Tertawa konyol sekaligus miris saat melihat timeline di sosial media yang memberitakan IRONISME. Tepatnya, sekelompok anak gadis ABG di mana kondisi ekonomi orangtuanya "ripuh" (baca: sulit), berdandan habis-habisan plus mengenakan beberapa perlengkapan yang cukup kentara bahwa hal demikian memang diupayakan dengan "maksa".

Sambil "seuri koneng" (baca: senyum kesakitan), saya menafakuri hal demikian sebagai tanda "iya" bahwa fakta sehari-harinya memang ada.

Bukan tak ada motif, memang. Di balik dandan selangit, di balik gaya-gayaan, tentunya ada motif ingin dipercaya oleh orang sekitar. Di balik memaksakan diri, tentunya ada alasan untuk memanipulasi kondisi yang sesungguhnya. Di balik pakaian dan perlengkapan yang dikenakan, mungkin ada alasan untuk dapat setara dengan orang lain yang kondisinya cukup (mampu).

Saya sebagai orang yang lahir dari keluarga biasa, tentunya sangat sedih dengan berlebihannya sikap demikian. Pun sebagai ibu dari anak-anak di rumah dan juga ibu dari murid-murid di sekolah, tentunya punya bersitan KECEMASAN. Cemas apabila kelak anak-anak dihinggapi mental atau nafsu INGIN DIKAGUMI melalui cara yang tak seharusnya.

Dan cukup tercenung dengan seorang teman. Teman saya, yang apabila diukur dari finansial, insyaAllah cukup. Mampu.

Namun tak disangka, ketika suatu hari putranya yang tengah menempuh belajar di sebuah sekolah dengan bayaraan tak sederhana, tiba-tiba dibuat gelisah dengan merk tasnya. Alasannya sederhana. Salah satu temannya berkomentar dan bertanya tentang tasnya yang bukan merk "branded".

Galaulah anak tersebut atas persoalan tasnya. Dan kegalauannya bermuara pada tuntutan. Tuntutan untuk dibelikan ts bemerk. Sang Ibu tak merasa MUTLAK untuk meng-iyakan.

Selain memang tak baik untuk memenuhi keinginan tanpa dasar yang jelas, juga karena memang punya dasar bahwa anaknya tak ingin dididik dalam pola yang SERBA BOLEH. Pun dengan dengan dimasukkannya ke dalam lembaga mahal sekalipun, tidak berarti untuk disepadankan dengan gaya hidup. 

Memilih sekolah lebih karena pertimbangan intangible asset alias nilai-nilai berharga. Nilai berharga yang mengemuka dalam visi misi dan program unggulan.

Dan tuntutan anak bujang yang baru akan naik kelas 3 SD itu tak berhenti sampai di persoalan tas. Namun berlanjut ke persoalan memilih tempat makan. Lebih tepatnya, tempat nongkrong.

"Si Emak" kian berkerut kening dengan kemuncuan sikap sang bujang kecilnya. Hingga pada sebuah titik, dia mengambil putranya dari sekoah tersebut, dengan alasan rasa tak nyaman atas sikap borju yang mengemuka.

Jika mengukur kemampuan finansial, orangtua dari anak tersebut, mungkin dan sangat mungkin untuk mengikuti permohonan anaknya. Permasalahannya, mereka tak mau terjebak dengan hal-hal instan. Karena pada dasarnya hidup adalah berproses, berikhtiar dan menghormati usaha yang dilakukan.

Hampir sama dengan prinsip demikian. Saya termasuk orangtua yang merasa miris dengan "efek bohemian". Apa itu itu efek bohemian? Saya jeaskan dalam contoh.

Ada sebuah keuarga, berkecukupan, baik dari sisi finansial maupun dari sisi keberadaan profil (dituakan di lingkungan). Karena orangtuanya berada, lalu anaknya bebas memilih jalan hidup apa saja alias sesuka hati. 

Hingga semuanya merasa tak perlu sekolah, tak perlu belajar, bahkan tak perlu "riweuh" belajar mencari penghasilan. Cukup menikmati hidup dengan bermain dan apa saja yang menyenangkan. Singkat cerita, harta terus berkurang, kesehatan orangtuanya menurun, dan pada akhirnya meninggal.

Pasca itu, anak-anak angkat tangan alias tak berdaya untuk sekadar meneruskan usaha orangtuanya. Bahkan untuk sekadar menjaga hartanya pun tak bisa.

Nah itulah efek bohemian. Efek borju. Efek gaya hidup. Lemah. Tak berdaya.

Tak ingin terjebak dengan gaya hidup, saya mencoba mengajak anak-anak untuk mencapai apa yang diinginkan dengan jalan menabung.

Shidqi yang sudah terdeteksi senang bermusik dari kecil, cukup "gemes" untuk memiliki keyboard. Atas izin Allah, dia mengumpulkan rupiah demi rupiah, lalu kami bantu genapkan untuk kekurangannya. Dan diraihlah satu unit keyboard dengan fasilitas standar perform. 

Alhamdulillah, kami dipertemukan dengan seorang penjual keyboard second di Pasar Elektronik Cikapundung. Sehingga angka fantastis dari keyboard tersebut bisa kami dapat dengan 6,5 juta rupiah saja (setengah dari harga baru).

Alahmdulillah. Paling tidak, impian anak terpenuhi, passion-nya terakomodir, dan usaha menabungnya terhargai.

Begitulah kami berusaha membudayakan. Termasuk dengan amplop-amplop lebaran yang mereka dapatkan, tak luput dalam pemenuhan rencana/keinginan.

Pun Fariza. Berharap ingin membeli satu unit smartwatch. Meski angpau yang ia dapat hanya senilai 4 ratus ribuan, sedangkan harga smartwatch-nya satu juta lebih sedikit, kami penuhi dengan adil. 

Artinya, kekurangan uangnya, biarlah sebagai tanda hadiah kami atas ibadah shaum dan tilawahnya. Sedangkan modal sebesar 4 ratus ribu, anggap saja sebagai jerih payah untuk mendapat barang yang diinginkan.

Sekelebat, bisa saja dianggap tega. Namun konteks TEGA itu sendiri tetap relatif. Untuk tujuan apa dan bagaimana kita memainkan pembelajaran. Yang penting tetap adil, insyaAllah menjadi ladang pendewasaan.

Karena mereka yang sukses hari ini, mereka yang menginspirasi dunia, mereka yang bernama besar plus berkarya besar, bahkan teladan sepanjang zaman Rasulullah Salallaahu'alaihiwasallam pun melalui perih dan getirnya pengorbanan.

Memang tak berarti bahwa orang sukses bermula dari kehidupan yang pas-pasan. Mereka terlahir normal dari keluarga yang cukup. Namun mental berkorban, mental gigih, mental menakar kemampuan, mental menyisihkan, mental berjuang, mental fokus, mental be yourself, mental berdo'a, mental memberi, itu sudah ada sedari kecil dan membekas hingga dewasa.

Satu benang merah dari "ocehan" saya kali ini adalah, bahwa untuk dapat dihargai, untuk dapat diakui, untuk dapat mendeklarasi prestasi dan prestise, itu semuanya butuh proses. Dan pengorbanan mutlak adanya. 

Oleh karenanya, anak-anak kita penting untuk berdaya juang supaya kelak mereka lebih percaya diri atas usaha-usahanya, supaya kelak mereka bergaya hidup memberi bukan meminta, supaya kelak mereka lebih rasional dan tak gampang kecewa.

Yuk, minimal dengan kita mengenalkan pada mereka arti sebuah tantangan. Sesederhana menabung, sesederhana latihan berjualan. Semoga ini menjadi dasar untuk menguatkan paradigma.

Mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga Allah istiqomahkan kebaikan-kebaikan kita. Salam hangat untuk keluarga dan selamat berlibur plus berkumpul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun