Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Sebuah Kebun dan Akar yang Membusuk Setelahnya

17 Juli 2024   14:51 Diperbarui: 17 Juli 2024   14:54 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini aku kembali menangis. Di bawah jendela berkarat ini, aku melihat sosoknya menghilang. Kebun yang rimbun akan dedaunan hijau semerbak itu kini terlihat begitu mengenaskan. Kering, tak ada satupun yang tersisa. Seolah menegaskan bahwa tidak seharusnya mereka berada di tempat itu. Seolah tiba-tiba tanah itu menjadi tidak pantas untuk disinggahi julur-julur akar yang begitu lemah gemulai dan kuat secara bersamaan.

Aku tahu ada banyak hal  yang bisa berjalan tidak pada tempatnya. Sering kali aku jatuh cinta saat dia tidak memiliki rasa yang sama. Lalu waktu berjalan, perasaanku pun memudar karena rasa bosan, di sisi lain perasaannya mulai berkembang. Tidak ada yang salah dengan perasaan kita, hanya saja, waktunya tidak tepat. Benang kita mengulur di waktu yang berbeda, membuatnya tidak pernah bertemu.

Bukan hal yang sulit bagiku untuk jatuh cinta. Aku bisa menumbuhkan perasaanku dari benih yang bahkan tidak ada, tapi ketika perasaan itu pupus dan mengering, aku tak punya cara untuk mengembalikannya. Seperti sebuah benih lemah yang bisa tumbuh lebat di lahan yang subur, rasa cinta bisa ditumbuhkan dari kebersamaan dan keajaiban keajaiban kerlingan mata yang kita lalui berdua.

Tapi sebaliknya, seperti tanaman yang telah mengering dan kehilangan masa hidupnya, perasaanku pun punah, tak pernah benar-benar ada jalan untuk kembali menghidupkannya; tanaman maupun perasaanku. Pada saat seperti ini, tidak ada harapan lagi untukku memiliki perasaan itu lagi.

Orang-orang sering mengatakan padaku untuk memberi kesempatan menghidupkan tanaman yang mati itu. Entah dengan siraman air dengan gula atau merendamnya di dalam bak berisi air  mata berminggu-minggu, tapi aku sadar itu tak akan pernah berhasil. Tanaman itu hanya akan membusuk dan berlendir, menghasilkan bau-bau menjijikkan seperti bangkai yang kusimpan di dalam lubuk hatiku terdalam.

Mungkin aku akan menyesal nantinya. Mungkin aku akan menyesal karena tidak pernah memberikan kesempatan kedua, tapi aku tidak peduli. Setidaknya, saat ini, inilah pilihan terbaik untukku. Setidaknya, inilah yang kuinginkan saat ini. Jadi, aku tidak akan ragu-ragu lagi saat mengambil sebuah keputusan. Aku akan jauh lebih berani melangkah ke depan. Tidak akan ada yang bisa menghentikan tekadku. Tak peduli walaupun aku harus kembali melawan diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Baca juga: Whisper of Love

Baca juga: Pulang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun