Bulan menggantung di langit-langit kamar. Bersama dengan gunungan buku dari segala sudut, kertas-kertas berserakan, serta bunga mawar yang telah sempurna mengering dengan kelopak bunga berguguran. Musim gugur datang tanpa kusadari sebelumnya, kini berlalu begitu saja. Begitu cepat dan mencekik leherku dengan waktu yang terlewat begitu saja.
Tidak ada banyak hal yang bisa kupamerkan di ruangan ini. Hanya ada aroma tinta-tinta yang beberapa diantaranya belum sempurna kering, buku-buku yang mulai menguning, mawar kering, serta debu yang beterbangan menciptakan ilusi hutan berkabut di tengah tumpukkan buku yang lama tak tersentuh.
Tak ada banyak hal yang tersisa di ruangan ini. Lukisan yang tak pernah sanggup untuk kuambil lagi, sketsa dari seluruh harapanku, dan juga keberadaanmu yang hilang tak berbekas.
Ah, kalau kuingat-ingat lagi, akulah yang mendorongmu menjauh dari kehidupanku, tapi aku tak pernah tahu akan sejauh ini. Aku tak pernah tahu kalau aku benar-benar tak bisa lagi mengirimu surat cinta melalui langit penuh dengan guratan cahaya bulan.
Kadang-kadang aku sengaja mendatangi tempat-tempat yang pernah kita kunjungi berdua sembari berharap agar aku bisa melihatmu walau hanya sepintas. Tapi sekeras apapun aku berdoa, selama apapun aku menunggu, aku tidak pernah menemukanmu. Apakah saat ini hari-harimu penuh kebahagiaan dengan taman mawar yang kau cintai?
Aku mencoba mengobrak-abrik kenangan di sudut hati untuk mencari sumber dari bau busuk ini, tapi aku tak bisa menemukan apa-apa di sana. Satu-satunya yang kutemukan hanyalah hatiku yang saat ini sedang tertidur di tengah kebekuan serta dingin yang menyesakkan.
Setelah kupikir-pikir lagi, kita berdua sepertinya memang berada di garis yang berbeda dan saat itu akulah yang memaksa agar garis kita saling bersinggungan satu sama lain. Kukira, selama ini aku adalah setangkai mawar merah yang selalu kau bawa pada tiap puisi cintamu, tapi tidak demikian. Aku adalah seekor musang yang hatinya telah kau jinakkan tanpa bisa menahanmu untuk tetap singgah di gurun pasirku lebih lama.
Aku tidak tahu sejak kapan malam-malamku menjadi lebih panjang dari biasanya. Entah sejak kapan aku mulai terbiasa jatuh tertidur tanpa bermimpi tentang hari esok. Entah sejak kapan melihat bulan yang tertanam di langit malam membuatku ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
Di tengah lonceng yang terus-menerus menari terbuai angin ini, aku sama sekali tidak mengerti.
Aku tidak mengerti...
Aku tidak mengerti...
Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku...
Apakah aku sedang memetik rindu yang kutanam di ujung pelukan yang terasa dingin dan sesak malam itu?
Aku benar-benar tidak bisa memahami segalanya.
Saat ini, aku hanya bisa berharap agar malam bisa segera berlalu seperti musim gugur ini. Aku harap matahari akan segera datang membawa satu hari yang hangat. Tidak perlu berhari-hari, satu saja cukup.
Sebelum musim dingin mulai datang, kuharap ada satu hari di mana matahari memelukku dengan erat. Kuharap kehangatannya bisa mencairkan es-es abadi di bawah laut ini agar tak lagi menenggelamkan kapal-kapal yang melintas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H