Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang

14 September 2022   17:02 Diperbarui: 14 September 2022   17:05 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by Akira Kusaka || @marysia_cc

Aku ingin pulang. Setiap kali aku merasa terasingkan dari dunia dan kehidupan ini, satu-satunya yang kuinginkan adalah pulang.

Sebuah kamar kecil dengan rak buku yang memenuhi setiap sudut. Origami-origami berbentuk bangau yang bergelantungan memenuhi langit-langit kamar. Kupu-kupu kertas yang menjadi kelopak bunga pada dahan kering di sudut kamarku. Sepasang meja dan kursi mungil dari anyaman rotan yang menghadap langsung ke jendela dengan gorden polos berwarna kuning.

Aku terus menerus mendengar bisikkan itu. Ia merengek, meninju ulu hati, merobek-robek jantung, menahan bibirku agar tidak berbicara sepatah kata pun, menarikku lebih jauh ke dasar tanpa cahaya, menggerogoti kewarasanku hari demi hari. 

Aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Saat ini dia mengamuk dan aku tak berdaya dibuatnya. Aku hanya bisa meringkuk, menangis dan ketakutan di hadapannya.

Aku ingin pulang ke sudut kecil sebuah rumah pasir di kaki gunung. Tapi kereta yang kunaiki saat ini justru bergerak ke arah sebaliknya. Aku sudah memutuskan untuk menaiki kereta ini sejak lama. Pada hari hujan tanpa purnama itu, aku menenteng tas ransel berisikan luka yang kubawa ke mana-mana.

Pernah seseorang bertanya, "kenapa harus luka yang kaubawa?"

Kujawab, "Karena luka adalah satu-satunya hal yang kupunya dan tak seorangpun akan datang dan merebutnya dariku. Di dunia ini, tidak ada yang pernah menginginkan luka, seperti aku menginginkan luka."

Pada hari-hari seperti itulah hariku merasa penuh. Aku terus menerus memikirkan luka. Tak ada seorangpun yang bisa menggantikan luka dari lubuk hatiku, sampai kereta berhenti di sebuah stasiun dan seseorang duduk di kursi sebelahku.

Dia tak berbicara atau pun bernapas. Aku bahkan tidak bisa mendengar detak jantungnya. Aku hanya bisa melirik ke wajah pucatnya sekilas, menangkap bulir-bulir bening di pipinya. Ah, kurasa dia bukan manusia. 

Meskipun begitu, dia tetaplah seseorang yang membuatku berpaling dari luka setelah sekian lama. Mungkin sebelumnya aku tidak menyadarinya, sampai dia turun di stasiun berikutnya. Sosoknya benar-benar menghilang dan lukalah yang masih setia menemaniku dalam perjalanan panjang ini.

Perjalanan membuat rumah hangat di satu sudut terkecil di lubuk hatiku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun