Aku sangat suka berdiam diri di satu tempat. Berlama-lama mengamati satu per satu orang yang keluar masuk dari tempat ini. Waktu favoritku adalah jam makan siang. Melihat orang-orang yang terburu-buru dikejar waktu, sementara aku bisa duduk di sudut ini sepanjang waktu, entah bagaimana membuat perasaanku menjadi penuh. Melihat orang-orang yang cemas melirik-lirik ke arah detik mendebarkan itu, entah bagaimana terasa sangat menyenangkan.
Ya, memang seperti inilah kehidupan harusnya berjalan. Berlari-lari, saling mengejar, saling menabrak, saling menginjak, saling menodongkan pisau. Seharusnya begitulah kehidupan ini berjalan. Setiap sudut di tempat ini hampir saja sempurna menggambarkan kehidupan ini, kecuali di satu titik itu. Laki-laki yang selalu tersenyum itu merusak gambaran yang sudah kubuat dengan susah payah.
Itu sangat aneh. Aku tidak pernah bertemu dengan lelaki seperti dia. Laki-laki biasanya akan bersikap keras dan mencoba terlihat dingin di depan orang lain, tapi aku tak pernah melihatnya seperti itu. Dia selalu tersenyum pada tiap orang yang Ia temui di jalanan, tersenyum pada cuaca saat sedang badai sekalipun, kepada tanaman-tanaman, kepada hewan, kepada jalanan yang dia lalui. Dia tersenyum pada semua hal yang Ia temui.
Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menyenangkan dari kehidupan ini hingga membuatnya tidak pernah berhenti tersenyum seperti itu? Hal itu membuatku memikirkannya setiap saat seperti orang bodoh. Bukannya aku sedang jatuh cinta, ini sama sekali berbeda, aku hanya berpikir agar bisa mencongkel matanya sekali-lagi agar bisa melihat kehidupan dari sudut pandangnya. Dengan begitu mungkin saja aku bisa sedikit memahaminya, tapi mana mungkin. Meskipun pikiranku sangat kelam dan kejam, aku sama sekali tidak pernah berniat melakukan hal-hal seperti itu. Aku benci bau darah, jadi mencongkel kedua matanya dengan kedua tanganku rasanya mustahil.
Mau bagaimanapun aku memikirkan tentang hal ini, semuanya terasa ganjil. Memikirkannya membuat perutku kram sekaligus mual di waktu yang bersamaan. Jadi aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku darinya, memusatkan pada secangkir lemon tea yang kini sempurna kehilangan bongkahan-bongkahan es batunya. Semuanya mencair begitu saja, seperti waktu yang kuhabiskan di tempat ini. Duduk di tempat yang sama, memikirkan hal yang sama, menghentikan waktuku sendiri.Â
Aku merasa semuanya akan sama seperti ini dalam waktu yang lama, sampai suatu hari laki-laki yang selalu tersenyum itu mendadak menghilang. Satu jam, dua jam, hingga tempat ini tutup, laki-laki itu sama sekali tidak terlihat. Ke mana dia? Apakah dia sudah kehilangan stok senyumnya? Karena itulah dia tidak bisa masuk kembali kecuali stok senyumnya sudah diisi ulang?
Ini sangat aneh. Maksudku, aku tahu dia memang aneh dari awal, tapi aku merasa cukup terganggu dengan semua ini. Aku tidak bisa memikirkan semua ini sampai-sampai tidak sadar kalau aku menjatuhkan barang-barangku, entah sejak kapan. Mau tidak mau aku mengambil semua barang-barangku, menunduk ke kolong meja-meja di tempat ini. Saat itu aku melihat sepasang mata yang berkaca-kaca sedang menatapku, meringkuk di salah satu kolong meja.
Mata kami bertemu beberapa lama dan aku sama sekali tidak peduli. Aku segera pergi dari tempat ini, tapi aku bisa merasakan kalau ada yang mengikutiku dari belakang. Aku tahu benar siapa yang sedang mengikutiku.
Tidak ada siapapun di jalanan sepi ini, jadi aku berbalik sambil berkata, "Apa maumu?"
"Meong." Jawabnya.
Aku menarik napas panjang. Kucing ini adalah kucing yang selalu menempel pada laki-laki menyebalkan itu. Ini sangat menyebalkan, tapi akhirnya kuputuskan untuk mendengarkannya bercerita panjang lebar tentang laki-laki itu.
Itu bukan kisah yang menyenangkan untuk didengarkan, tapi laki-laki itu baru saja mengakhiri hidupnya dengan sengaja. Rupanya senyum itu, dia hanya terjebak di dalamnya. Seperti sebuah topeng yang tidak bisa lepas dari wajahnya dan menggerogoti hingga bagian terdalam dari jiwanya.
Aku tidak mengerti. Sebagai orang yang biasa meluapkan semua emosi ke permukaan begitu saja, aku masih tidak mengerti mengapa orang-orang lebih suka menyembunyikan kesedihan mereka di balik topeng dengan tertawa sepanjang waktu seperti itu. Seorang pembohong yang ternyata mudah menyerah, benar-benar mengerikan.
Kurasa aku harus mengakui satu hal yang memalukan. Sejujurnya, selama ini aku selalu berpikir jika aku melakukan hal-hal yang kuinginkan, aku tidak akan pernah merasa menyesal. Kupikir, jika aku mengejar hal-hal yang kuinginkan dan berusaha sekuat tenaga untuk menggapainya, aku tidak akan menyesalinya suatu hari nanti. Tidak peduli sesakit atau sehancur apapun yang kurasakan, aku tidak akan pernah menyerah, karena kupikir aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan apa yang kuinginkan.
Kupikir setelah bersikeras seperti itu, setidaknya aku tidak perlu lagi menyesali banyak hal, tapi itu semua tidak benar. Seringkali aku tetap merasakan penyesalan-penyesalan seperti itu. Tetap saja aku lebih sering merasa sedih atas apa yang terjadi pada diriku dan pilihan-pilihan yang kuambil selama ini.
Tapi walaupun begitu, ini semua tidak terlalu buruk juga. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku bisa merasakannya dan selalu percaya bahwa menyesal karena melakukan sesuatu yang benar-benar kuinginkan jauh lebih melegakan dibandingkan menyesal karena menyerah dan tidak melakukan apapun untuk hal-hal yang kusukai.Â
Di dunia ini yang menderita bukan hanya aku seorang. Masih ada lebih banyak orang menderita kelaparan, mati karena perang dan sebagainya. Jadi kupikir, terjebak di dasar tergelap dan dingin seperti ini pun tidak masalah. Aku akan tetap hidup, tidak peduli bagaimanapun caranya.
Untuk pertama kalinya aku berkata dalam hati, syukurlah aku bukan orang yang akan menyerah semudah itu.
Aku menoleh, menatap kucing di sampingku. Ia masih sesenggukan menceritakan semua hal tentang laki-laki yang ternyata menginginkan sepasang sayap untuk langsung pergi ke surga itu. Aku akan selalu mengingat namanya, Luka. Laki-laki yang menginginkan sepasang sayap itu bernama Luka.Â
Kuharap dia benar-benar mendapatkan sepasang sayap itu di atas sana. Kuharap dia bisa tersenyum lebar dengan lebih baik, bukan untuk menyembunyikan semua lukanya, tapi benar-benar tersenyum dari lubuk hatinya. Kurasa senyumnya akan terlihat jauh lebih indah dari yang biasa kulihat. Aku sangat menantikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H