Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Hal yang Harus Kutanyakan kepada Bunga-Bunga

4 Januari 2021   21:16 Diperbarui: 4 Januari 2021   21:20 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.twitter.com/natsunami___

Tidak ada hujan yang turun akhir-akhir ini. Aku bisa menghirup aroma dari matahari yang terik dan menyengat. Kurasa ini lebih baik daripada harus bertemu dengan hujan lebih sering datang sesuka hati. Aku benci suasana dingin dan kalut yang turun dari langit bersamaan dengan rintik.

Meskipun aku merasa nyaman dengan semua ini, harusnya aku tidak boleh pergi terlalu jauh seperti ini. Sekuat apapun aku menyangkalnya, jelas-jelas saat ini aku sedang tersesat. Duduk bersandar pada sebuah pohon di tengah hutan berbunga liar yang tidak begitu rimbun ini, memakai setelan jas pengiring pengantin.

Beberapa jam yang lalu aku masih berada di tengah pesta pernikahan kedua orang tuaku. Kalau kalian pikir salah satu dari mereka adalah orang  tiriku, itu tidak benar. Mereka berdua adalah orang tua kandungku, dan mereka menikah lagi setelah pernah bercerai sebelumnya.

Bukannya aku merasa keberatan dengan pernikahan ini, lagipula jika hal itu bisa membuat kedua orang tuaku bahagia, aku bisa apa? Jangan tanyakan alasan kenapa mereka bercerai sebelumnya padaku karena aku pun tidak tahu. Mereka bercerai begitu saja ketika beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk bersekolah di luar kota.

Tidak ada kabar apapun yang kudapat selama ini. Aku baru tahu semuanya ketika pulang ke rumah saat liburan sekolah dan menyadari hanya ada Ibuku di sana. Saat itu yang keluar dari mulutnya saat itu hanyalah, 'Ayah  dan Ibu memutuskan untuk bercerai. Maaf tidak mengabarimu, kami tidak ingin menganggu konsentrasi belajarmu.' tanpa mengatakan hal lain.

Hari-hari setelahnya, ibu makin sibuk dengan segala pekerjaannya. Aku benar-benar tak punya kesempatan untuk meminta penjelasan lebih mengenai perceraian mereka, hingga akhirnya aku benar-benar menyerah untuk berusaha menanyakannya. Kupikir, asal itu bisa sedikit meringankan beban di pundaknya, aku akan menghormati keputusannya.

Kuakui aku merasa kecewa. Bagaimanapun juga selama ini Ayah dan Ibu tampak baik-baik saja saat berada di hadapanku. Kupikir tidak ada hal yang begitu serius sehingga perceraian tidak pernah terpikirkan olehku akan menjadi pilihan mereka tanpa melibatkanku.

Aku perlu waktu lama untuk menyesuaikannya dan aku benar-benar berusaha, tapi sekarang seperti ini. Setelah bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba berkata ingin menikah lagi. Walaupun aku terkejut, tapi yang kupikirkan saat itu adalah Ibu akhirnya menemukan orang yang lebih baik dari Ayah dan aku turut bahagia untuknya.

"Ibu akan menikah dengan Ayahmu lagi," Jelasnya saat kami berdua baru saja menyelesaikan santapan makan malam kami.

"Kupikir Ibu akan menikah dengan orang yang jauh lebih baik daripada Ayah." Kataku lirih. Entah kenapa tenggorokkanku terasa panas.

"Ayahamu bukan orang jahat, Dit. Kamu tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu." Dia mengatakan hal itu sambil menatapku dengan bersungguh-sungguh.

"Kalau memang baik, kenapa dulu kalian harus bercerai?" Entah kenapa tiba-tiba oksigen di ruangan ini menjadi terasa sangat tipis.

"Bukankah sudah Ibu sudah pernah mengatakannya padamu kalau..."

"Mengatakan apa?" Potongku.

"Kalau Ibu lupa, biar kuingatkan kalau Ibu tidak pernah memberitahu alasan kenapa Ayah dan Ibu bercerai. Dan satu hal lagi, kalian bahkan tidak berusaha memberitahuku untuk meminta pendapatku atau sejenisnya." Jelasku sambil berusaha mengontrol intonasi suaraku. Aku tidak boleh sampai bereriak.

"Jadi Ibu harus bagaimana? Apakah lebih baik kami tidak perlu menikah lagi?" Tanyanya.

"Terserah Ibu. Lakukan saja seperti sebelumnya. Tidak perlu merasa terbebani dengan pendapatku." Kataku sambil meninggalkan meja makan.

Aku menghembuskan napas panjang. Pada akhirnya mereka benar-benar memutuskan untuk menikah lagi tanpa berusaha membicarakannya padaku. Aku memang mengatakan kalau mereka tak perlu meminta pendapatku, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan benar-benar melakukannya.

Sejenak angin berhembus lembut, membuat bunga-bunga liar di hadapanku bergoyang. Melihat mereka yang begitu kecil dan lemah membuatku jadi bertanya-tanya, apakah mereka bahagia?

Apakah mereka pernah merasa tak berdaya karena harus hidup tanpa seorangpun yang datang ke hutan ini dan memperhatikan keberadannya? Dari sekian banyak jenis bunga yang ada, mereka hanya tumbuh menjadi bunga liar tanpa nama, apakah itu tak pernah sekalipun membuat mereka merasa putus asa?

Aku ingin tahu rasanya menjadi bunga-bunga. Aku ingin hidup sebagai bunga dan berteman dengan hutan penuh angin, pohon, serta ilalang. Kuharap, aku bisa segera mati dan terlahir menjadi bunga-bunga liar yang membunuh perasaan sepi.

"Hey, bunga-bunga liar... apakah aku masih cukup berarti untuk tetap berada di dalam raga ini?"

Bunga-bunga di hadapanku tetap tidak menjawab apapun. Mereka ikut membisu bersamaan dengan angin dan waktu mendadak yang membeku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun