"Ayahamu bukan orang jahat, Dit. Kamu tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu." Dia mengatakan hal itu sambil menatapku dengan bersungguh-sungguh.
"Kalau memang baik, kenapa dulu kalian harus bercerai?" Entah kenapa tiba-tiba oksigen di ruangan ini menjadi terasa sangat tipis.
"Bukankah sudah Ibu sudah pernah mengatakannya padamu kalau..."
"Mengatakan apa?" Potongku.
"Kalau Ibu lupa, biar kuingatkan kalau Ibu tidak pernah memberitahu alasan kenapa Ayah dan Ibu bercerai. Dan satu hal lagi, kalian bahkan tidak berusaha memberitahuku untuk meminta pendapatku atau sejenisnya." Jelasku sambil berusaha mengontrol intonasi suaraku. Aku tidak boleh sampai bereriak.
"Jadi Ibu harus bagaimana? Apakah lebih baik kami tidak perlu menikah lagi?" Tanyanya.
"Terserah Ibu. Lakukan saja seperti sebelumnya. Tidak perlu merasa terbebani dengan pendapatku." Kataku sambil meninggalkan meja makan.
Aku menghembuskan napas panjang. Pada akhirnya mereka benar-benar memutuskan untuk menikah lagi tanpa berusaha membicarakannya padaku. Aku memang mengatakan kalau mereka tak perlu meminta pendapatku, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan benar-benar melakukannya.
Sejenak angin berhembus lembut, membuat bunga-bunga liar di hadapanku bergoyang. Melihat mereka yang begitu kecil dan lemah membuatku jadi bertanya-tanya, apakah mereka bahagia?
Apakah mereka pernah merasa tak berdaya karena harus hidup tanpa seorangpun yang datang ke hutan ini dan memperhatikan keberadannya? Dari sekian banyak jenis bunga yang ada, mereka hanya tumbuh menjadi bunga liar tanpa nama, apakah itu tak pernah sekalipun membuat mereka merasa putus asa?
Aku ingin tahu rasanya menjadi bunga-bunga. Aku ingin hidup sebagai bunga dan berteman dengan hutan penuh angin, pohon, serta ilalang. Kuharap, aku bisa segera mati dan terlahir menjadi bunga-bunga liar yang membunuh perasaan sepi.