"Tapi kamu juga berhak atas raga ini."
"Tidak lagi. Kini, itu milikmu seutuhnya. Aku akan tetap tinggal di sini."
"Tapi..."
"Jangan pernah kembali di tempat kosong dan dingin seperti ini. Kaumasih punya detak jantung itu. Kehangatan juga masih menjalar di tubuhmu. Aku hanya mayat."
"Apakah ini semua salahku?" Suaraku tercekat.
Ia menggeleng, "kausudah melakukan hal yang benar. Kaumemang harus membunuhku. Jika tidak, maka dosa-dosaku akan terus menerus mengalir dalam darahmu dan menjadi pemicu saat kaumenginginkan kematian."
Tidak! Sekarang dadaku terasa seperti mau meledak. Aku tidak ingin kehilangan gadis itu. Dia adalah bagian dari raga ini, aku tidak ingin membunuhnya lagi.
Aku menatapnya lamat-lamat, sembari menggeleng kuat. Kini tangannya angun meletakkan mahkota kecil yang sedari tadi tergeletak ke atas kepalanya. Ia kembali menampilkan senyum duka itu.
"Tidak! Bukan ini yang kumau. Bukankah harusnya kita mati bersama hari ini?" Tubuhku bergetar hebat.
"Aku siap." Suaranya kini terdengar memilukan.
Tidak! Aku sangat tidak ingin melakukannya, tapi lagi-lagi batu ini sudah berada di genggamanku. Aku menatap wajahnya lagi, dia mengangguk.
Baiklah. Aku mengerti. Dengan tangan gemetar ini aku mulai mengangkat batu ini dan mengeluarkan semua tangis yang ada.