Sesuatu yang berkilauan. Kupikir begitulah kisahku akan berjalan. Aku memandang lurus pada langit-langit kamarku. Kucoba memejamkan mataku berkali-kali berharap mimpi akan segera menjemputku, nyatanya kosong.
Ada sesuatu yang menggangguku. Aku terdiam beberapa saat, mencoba mendengarkan tarikan nafasku yang tak beraturan.
Aku menggigit bibir bawahku dengan sedikit gemetar. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang merasa tidak baik, tapi semuanya akan baik-baik saja.
A dream is a wish your heart make......
Lagu itu tiba-tiba berputar dalam pikiranku. Kepalaku tiba-tiba dipenuhi dengan adegan Cinderella yang berubah berkat sihir dari seorang peri baik hati. Itu sangat menakjubkan. Bagaimana sebuah ayunan tongkat sihir bisa mengubah segalanya. Kereta kuda, gaun yang berkilauan, pengawal yang gagah, dan tentu saja sepasang sepatu kaca.
Lagu itu masih mengalun lembut, mendayu-dayu. Membuat bibirku ikut bergerak dengan ritme yang ada. Aku berusaha keras untuk menyanyikannya, tapi tidak berhasil. Suaraku, aku tidak bisa menemukannya.
Sebentar lagi jam dua belas tepat. Batas waktu Cinderella menikmati segala kebahagiannya. Aku tertawa ketir, bukankah itu sedikit tidak adil? Setelah sekian lama ia menderita menghadapi kehidupannya, dia hanya diberi sedikit waktu untuk merasakan kebahagiaan itu.
Bukankah Cinderella adalah seorang gadis yang baik? Jika seseorang yang berparas cantik dan baik hati sepertinya saja hanya diberi waktu sesingkat itu untuk bahagia, maka aku jadi mulai meragukan esokku yang berwarna.
Seperti apa rasanya bahagia? Apakah sama seperti rasa cola dingin yang aku minum siang tadi? Sejujurnya itu terasa nikmat, walaupun semu dan hanya sesaat.Â
Saat sedang sibuk berangan-angan perihal kebahagiaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ah, begitu.... alarmku sudah berbunyi. Jam 12 tepat.
Arti jam dua belas malam bagiku selalu berarti hari yang baru. Sebagai tanda bahwa aku telah melewati seharian penuh seperti biasanya. Dua puluh empat jam yang melelahkan sekaligus membosankan.
Tidak ada yang spesial dari itu, tapi setidaknya aku masih bertahan sampai detik ini. Tanpa bantuan sihir pun, aku masih bisa hidup. Ini terasa seperti sebuah keajaiban sendiri untukku.
Ya... walaupun akhir-akhir ini aku juga mulai berhenti mempercayai keajaiban. Ini semua tetap terasa menakjubkan dan saat menyadari hal itu, aku menjadi sedikit lebih lega.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H