Mohon tunggu...
Mia Wulandari
Mia Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan

Providentia Dei. Seorang Ibu dan masih karyawan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(MPK) Kisah Aldo dan Riri

12 Juni 2011   07:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption id="attachment_116081" align="aligncenter" width="300" caption="sumber : youtube"][/caption]

Menjelang malam, sepulang kantor di sebuah café yang romantis. Tampak seorang lelaki dan seorang perempuan berbincang hangat. Derai tawa dan sinar bahagia terpancar dari wajah keduanya.

“Mengapa kau tak mengejarku atau mencariku waktu itu..,” kata Al, duduk di samping Riri. Memandang Riri dengan mata cintanya.

Riri hanya mendengus agak kesal. Merengut. Sebagai cewek tentu ia tak ingin dinilai terlalu agresif. Tak lama bibirnya kembali tersenyum. Kerling matanya menggoda Al. Ah…senyum itu, membuatku selalu jatuh hati, kata Al dalam hatinya.

“Bagaimana aku harus mencarimu, Mas? Aku hanya tahu Mas kuliah di Jakarta, setelah itu kabarmu tiada. Seolah raib ditelan bumi.”

“Kamu sudah tahu aku di Yogya waktu SMA dan kita sama-sama tinggal di kota itu. Bahkan tempat tinggalmu tak jauh dari sekolahku. Selain itu, kamu adalah sepupu teman sekelasku. Oh…Cinta…kenapa kau tak berusaha? Kejarlah daku kau kutangkap..hehehe…,” Al mengacak-acak rambut Riri, tanda sayang.

“Yah, Mas..aku tak yakin saat SMA kau akan menyukaiku, jawab Riri.

“Kenapa kau bilang begitu? Kalau sekarang aku sayang kamu, apa alasannya kalau waktu dulu aku tidak akan suka denganmu?”

“Aku dulu jelek..hehehe..,” goda Riri “Aku kan nggak bisa dengan serta merta mencari Mas lalu aku bilang aku suka dengan Mas begitu saja to.. Dulu mas kan nggak tau aku.. Lagian, aku cewek apaan..”

“Haha…jujur… dulu memang aku tidak tau kamu, sampai saat kita bertemu di facebook.., coba aku tau kamu dari dulu…ah..,” mata Al menerawang lalu memandang perempuan matang nan cantik di depannya. “Mengapa pula sepupumu itu…si Ndut itu tak cerita kalau dia punya saudara kamu?”

“Aku sudah ceritakan sama Ndut, Mas.. Aku katakan semua tentang mas Al dan aku bilang kalau aku udah dari dulu tau Mas, sering liat Mas dari jauh, cuma malu mau dekat-dekat..,” senyum Riri mengembang mengenang saat ngobrol dengan Ndut –sapan akrab sepupunya-.

Sejurus kemudian hening dan terdengar suara Aldo lembut…“Sayang, buatkan aku puisi. Puisi tentang cinta kita.”

Riri tersenyum dan mengangguk perlahan, menatap pujaan hatinya.

- * -

Sesiang ini Riri hanya mengotak atik internet. Berselancar di ruang facebook untuk mencari teman-temannya. Banyak sekali yang ia jumpai, mulai dari teman SD, SMP, SMA dan kuliah belum lagi tetangga dulu waktu di kota kelahiran dan kota dimana ia sekolah.

Beberapa jam setelah search kesana-kemari, tiba-tiba matanya menangkap sebuah nama: Abhinaya Aldo. Segera saja ia klik tombol info mencari tahu lebih jauh siapa si pemilik nama itu. BenarkahAldo yang dulu ia kagumi itu? Dari pic profile yang dipakai pemilik akun di jejaring sosial paling diminati itu Riri sudah yakin. Benar saja, setelah info tentangnya terbuka penuh, semuanya mengacu kepada temannya, pemilik sapaan akrab “Al”. Segera saja Riri add, Al.

Hai Mas Al, pa kabar? Ini Mas Aldo putranya Pak Seto kan? Aku putra Pak Sastro, temannya Pak Seto. Kan papa kita satu kantor. Inget nggak? Dimana sekarang mas?

Riri

Sebuah pesan dikirim Riri ke inbox Al. Sayang saat itu Al sedang offline. Ingatan Riri terbang melanglang ke masa lalu. Saat-saat hatinya dipenuhi bunga seribu taman. Kala itu, hatinya tidak dapat berhenti di batas kagum. Semilir cinta monyet perlahan membelai hati Riri. Pesona Al kerap menyelinap di sela lipatan mimpinya waktu itu.

Pikiran Riri mundur jauh 20 tahun ke belakang, saat ia dengan diam-diam mengagumi seorang remaja kakak kelasnya di SMP. SMP mereka berbeda. Ia sering melihat Al pulang sekolah melewati depan sekolahnya. Selain itu, Riri juga sering melihat Al, bukan bertemu karena Riri waktu itu masih malu-malu. Riri melihat Al saat ada acara di kantor papanya. Ya, papa Riri dan papa Al satu kantor. Saat itu Papa Al adalah pimpinan di kantor itu. Riri dan Al tak pernah bertegur sapa.

Esoknya, balasan Al di inbox Riri :

Hai juga, iya aku Aldo. Benar, aku anaknya Pak Seto. Sekarang di Jakarta. Kamu dimana? Kok dunia sempit ya..

Aldo

Itulah awal mulanya, satu setengah tahun yang lalu

-*-

Pukul 10 malam sepulang dari kantor, Sinta menunggu di pintu. Tak ada senyum tersungging di bibirnya seperti biasa ia berikan saat menyambut kedatangan Al.

“Apa maksudnya ini?” Sinta menunjukkan ponsel yang familiar ke hadapan Al.

“Tidak ada maksud apa-apa..."jawab Al pelan. Kekhawatirannya bahwa istrinya akan mengobok-obok isi hapenya benar-benar terjadi. Al mengutuk dirinya sendiri yang lupa tidak mendelete sms-nya dengan Riri semalam.

“Aku mau dijelasin sejelas-jelasnya apa artinya sms ini? desak Sinta.

“Oh…itu temen kantor, panggilannya di kantor pake sayang sayang... Semua temen kantor juga manggil begitu.” Al berusaha memberikan jawaban setenang mungkin. Berusaha menyembunyikan kebohongannya.

“Bukan sekedar sayang sayang... Ada cinta, ada kecupan hangat. Kau mulai main-main, rupanya. Kurang apa aku, hingga kau bermain di belakangku.” Sergah Sinta.

“Ah palingan itu teman-teman kantor aja iseng kirim-kirim sms ke orang pakai hapeku. Sering kok begitu. Teman-teman kalau bercanda kadang emang suka kelewatan.” Jelas Al sekenanya.

“Maaasss..., aku ini tak sebodoh itu! Aku bisa baca kapan sms terkirim dan kapan balasannya diterima. Sms-sms ini tadi malam. Selagi kau nonton sepakbola. Masih mau berkelit lagi?” lengking Sinta diikuti cerocosnya yang memekakkan telinga Al di malam sunyi itu.

Belum sempat Al menjawab, Sinta menancapkan sebuah pertanyaan lagi ke benak Al, “Siapa itu R12? Perempuan selingkuhanmu, kan?”

Al benar-benar tak berkutik. Ditekuknya ke bawah wajah Al di hadapan istrinya yang hanya mengenakan daster transparan merah jambu. Nyali Al tak cukup untuk mengadu pandang matanya dengan Sinta yang terbakar amarah. Sejenak kemudian ia bangkit. Kakinya melangkah menuju tangga lantai atas, kemudian masuk ke kamar tempat ia biasa mengerjakan tugas kantornya bila sedang di rumah. Al hanya ingin menghindari bentuk kemarahan Sinta selanjutnya. Perbuatan Sinta yang kadang tidak bisa ditolerir apabila sedang marah.

Dari dalam kamar, omelan Sinta masih terdengar. Bahkan sampai menjelang tengah malam. Al lebih memilih mengembarakan khayalannya bersama Riri daripada mendengarkan ‘nyanyian malam’ istrinya. Betapa cantiknya kau Riri. Aku tidak tahan untuk memeluk tubuhmu yang seksi. Tak kan kusia-siakan hidungmu, lehermu, belah dadamu, pinggang langsingmu...ah..seluruh tubuhmu di setiap malam-malamku, batin Al.Terbayang di benak Al Riri hanya mengenakan G-String menari di hadapannya. Gemulai meliukkan tubuhnya menantang keperkasaan Al. Semakin liar Al mengkhayalkan percumbuannya dengan Riri hingga jauh menembus mimpi dalam lelapnya.

- * -

Aldo datang dengan dengan kening biru lebam. Riri mengernyit. Matanya tak lepas memandang kening Al. Menyelidik. Dengan lembut Riri diusapnya kening Al.

“Aduh…,” spontan Al lirih.

“Maaf mas, pasti sakit keningmu…,” tangan Riri tetap di kening Al. Sekedar ingin mengobati.

Riri merasa seperti mendapati bayang dirinya dulu. Saat pipi dan wajahnya sering merona biru lebam karena siksaan suaminya. Persis seperti Al. Riri berharap, hal yang buruk tidak terjadi pada Al. Cukup Riri yang mengalaminya.

“..Ri, maaf ya… Aku datang dengan keadaan begini. Aku tidak bisa menyembunyikannya darimu sekarang. Aku mendengar cerita tentang deritamu, seperti sedang melihat diriku sendiri..,” tutur Al pelan dan jelas di telinga Riri.

“Ini sudah berlangsung lama, Ri.. Jauh sebelum aku bertemu kamu… Kami hidup..,” Riri menutup bibir Al dengan telunjuknya. Tersenyum hangat, “Nggak usah diteruskan dulu mas. Kita minum dulu ya..kita belum pesen minum dan makan.”

Malam makin tua, Riri masuk kamarnya. Pulang dari café bersama Al, Riri hanya ingin merebahkan diri. Pikirannya penuh dengan kejadian dan cerita tentang Al. Al yang selama ini menyembunyikan tentang hidup rumah tangganya. Tidak seperti Riri yang sedari mula sudah menceritakannya kepada Al. Mengapa nasib kita sama, Mas?, batin Riri siap-siap menutup mata. Malam ini Riri hanya ingin berpikir tenang. Entahlah untuk esok hari. Apa yang akan terjadi.

Penulis : MI. A. Wulandari & http://www.kompasiana.com/hamzet (Kolabs no. 153)

Meski telat posting, kami tetap ingin meramaikan MPK, silakan kunjungi : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun