***
Kamar itu gelap, hanya seberkas cahaya lampu taman menyusup melalu celah tengah gorden yang terbuka setengah, menyorot ranjang besar di tengah.
Suara desah, dengusan nafas dan pekikan penuh nafsu dari dua manusia yang bergumul di ranjang itu yang menggangguku.
“Hei kalian, berhenti!” aku berseru.
Seruanku bagaikan angin lalu. Aku maju, dengan niat melerai pergulatan itu. Sebelum aku bertindak, ternyata pertempuran telah usai. Dan dua raga itu terpisah. Tersengal-sengal.
Lelaki itu—lelakiku—berdiri menghalangi sinar lampu taman yang menyusup dari sela-sela gorden, sehingga butir keringat di dadanya berkilau cemerlang.
“Kamu puas, sayang?” tanyanya.
Wanita itu, kaya namun dungu, mengangguk lemah.
“Oh ya, aku telah menandatangani wasiatku. Bagaimana kalau besok kita menemui Rosita?” kata lelaki itu—lelakiku—sambil memamerkan senyumnya yang menawan.
Aku maju dan mencekik lehernya. Lelaki itu tersenyum. Ia tak merasakan genggaman tanganku. Ia tak melihatku.
Aku hanyalah hantu.