Semua yang tampak, tidak selalu seperti kelihatannya. Figur yang dipandang baik, santun, dan ramah, tidak selalu berarti memberikan rasa aman. Kondisi seperti inilah yang membuat kehidupan terasa kompleks, apalagi untuk anak-anak, yang masih sulit memahami kondisi abu-abu di antara hitam dan putih. Anak-anak merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual pada anak seringkali seperti gunung es, banyak yang tak terungkap karena tidak dilaporkan. Ironisnya, kekerasan ini dilakukan oleh orang dalam lingkungan dekat anak, yang sesungguhnya diharapkan bisa menjaga dan melindungi. Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang mencatat 350 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2019 sebagaimana dimuat oleh Tempo, Â pelaku kekerasan di antaranya adalah keluarga (37,65%), orang dekat (31,76%), guru (7,06%), pemuka agama (3,53%), dan orang tak dikenal (20%).
Upaya untuk mencegah kekerasan ini terjadi merupakan PR (pekerjaan rumah) bersama, minimal untuk lingkungan terdekat kita masing-masing. Anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang memberi rasa aman. Ada 10 hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989, yakni hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan, mendapatkan nama/identitas, mendapatkan status kebangsaan, mendapatkan makanan, mendapatkan akses kesehatan, mendapatkan rekreasi, mendapatkan kesamaan, dan memiliki peran dalam pembangunan. Setiap anak berhak bermain, belajar, mengembangkan bakat dan potensi dirinya dengan bebas. Pemenuhan hak-hak ini tentu membutuhkan lingkungan yang kondusif, bukan malah yang merenggut kebebasannya.
Bagaimana agar anak tetap memiliki kebebasan bertumbuh dan berkembang, sementara kita paham bahwa kenyataannya lingkungan tidak selalu aman bagi mereka? Kita tidak bisa selalu menciptakan lingkungan yang steril atau bersih dari bahaya, tetapi kita bisa menjadikan anak-anak sebagai pribadi yang "imun", artinya memiliki imunitas atau kekebalan dari dalam dirinya. Daripada membatasi ruang pertumbuhan anak atau menanamkan perasaan takut atau curiga terhadap orang lain, lebih baik mengajarkan anak-anak cara melindungi dirinya, dengan memahami hal-hal mendasar yang berkaitan dengan pendidikan seksual.
Pendidikan seksual untuk anak
Hal mendasar dalam pendidikan seksual adalah anak-anak memahami bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh dan dilihat oleh orang lain, selain orang tua dan dokter. Anak perlu mengenal nama organ kelamin dengan nama yang benar, yakni vagina dan penis, bukan dengan sebutan "burung", atau istilah lainnya. Dengan mengajarkan nama yang sebenarnya, kita menunjukkan kepada anak bahwa membicarakan organ kelamin bukanlah hal tabu yang perlu ditutupi, anak tidak perlu sungkan. Selain itu, anak bisa menceritakan dengan nama yang tepat apabila terjadi sesuatu pada organ kelamin mereka.
Anak tidak sungkan dan bisa bercerita kepada orang tua merupakan poin yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak. Dengan anak mau bercerita secara terbuka, orang tua bisa mengenali apabila terdapat hal-hal yang berisiko dialami anak.
Anak juga perlu memahami bahwa orang lain tidak boleh meminta atau mengajaknya menyentuh bagian tubuh pribadi orang lain. Pada beberapa kasus kekerasan seksual, pelaku memberi kesempatan anak untuk menyentuh bagian tubuh pelaku, sehingga menganggap hal itu boleh dilakukan juga pada tubuh anak. Hal yang juga perlu dipahami anak adalah tidak diperbolehkan mengambil gambar, merekam, atau memotret bagian tubuh pribadi dirinya dan orang lain.
Cara-cara pertahanan diri juga perlu diajarkan kepada anak, terutama ketika mendapatkan perlakuan fisik yang membuatnya tidak nyaman. Anak diajarkan cara menolak, mengatakan 'tidak', pergi meninggalkan tempat tersebut, dan melaporkannya kepada orang dewasa yang ia percaya.
Jeratan yang seringkali mengikat anak adalah pesan dari pelaku untuk merahasiakan peristiwa yang terjadi. Anak merasa tidak nyaman dan membutuhkan pertolongan, tetapi tidak bisa menceritakannya karena diancam untuk merahasiakan, dan mungkin saja merasa malu. Dukungan orang tua sangat diperlukan untuk memberikan rasa aman dan percaya kepada anak, sehingga anak tidak ragu untuk bercerita. Oleh karenanya, apabila komunikasi dalam relasi anak dan orang tua sudah terbangun dengan baik, hal ini akan sangat membantu anak menghadapi kesulitan dan tekanan.
Pendidikan seksual diharapkan dapat menjadi topik yang dibicarakan secara berkala oleh orang tua dengan anak, karena tentunya tingkat pemahaman anak pada usia balita berbeda dengan pemahamannya ketika berusia 7 tahun, 10 tahun, dan saat pubertas. Pendidikan seksual membantu anak memahami dirinya (sense of self), yang kelak menumbuhkan rasa berharga dan berdaya pada dirinya.
Tidak hanya menjadi bystander
Ketika kita sudah berupaya membekali anak-anak dengan pendidikan seksualitas, porsi penting lainnya adalah melakukan pengawasan terhadap lingkungan sekitar. Seringkali fenomena bystander effect terjadi, ketika kita menjadi saksi mata atau saksi telinga tetapi memilih diam atau abai, karena mungkin enggan atau berpikir hal itu menjadi tanggung jawab pihak lain. Pada saat itulah, perundungan atau kekerasan terus terjadi. Hendaknya kita sebagai elemen masyarakat tidak hanya menjadi bystander, tetapi mau peduli dan bergerak. Memang benar, diperlukan keberanian untuk menyuarakan kemanusiaan.
Referensi:
Natasha Daniels. 10 Ways to Teach Your Child the Skills to Prevent Sexual Abuse. https://childmind.org/article/10-ways-to-teach-your-child-the-skills-to-prevent-sexual-abuse/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H