Semua pasti setuju bahwa menunggu bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Tetapi menjalani proses menunggu untuk mendapatkan sesuatu yang baik, menggembirakan, dan berguna untuk diri kita, keluarga maupun orang banyak, tentunya menjadi sebanding untuk dilakoni.
Menunggu selalu dikaitkan dengan kesabaran. Dan akhir-akhir ini seringkali kesabaran masyarakat seolah terlihat cepat habis. Apalagi ditambah oleh dukungan media yang semakin mendorong hal tersebut.
Belum sehari selesainya pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru RI periode 2014-2019 bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla, hampir semua media menurunkan berita yang isinya seragam. Menanti jajaran kabinet kementrian baru. Tiada hari tanpa spekulasi, prediksi dan konfirmasi. Baik dari para tokoh politik, pengamat, akademisi, professional sampai masyarakat umum. Semua dibuat was-was. Tidak sabaran. Padahal faktanya, secara UU Kementrian Negara, Presiden yang baru disumpah, memiliki waktu selambatnya 14 hari untuk mengumumkan kabinetnya. Tetapi, dengan alasan Presiden dan seluruh jajarannya harus segera berlari untuk bekerja, waktu 14 hari dianggap terlalu panjang.
Bagi saya, adalah wajar terjadi negosiasi dalam politik. Apalagi dengan latar belakang partai pemenang pemilu yang berkoalisi dengan partai lain, adalah wajar terjadi tarik ulur dalam penentuan nama-nama mentri yang diharapkan dapat bekerja dengan super baik. Belum lagi dengan tambahan 'menu baru' era Jokowi yang memasukan tim KPK, PPATK dan bahkan DPR sebagai bantuan pertimbangan. Mengapa media dan masyarakat seperti tidak bisa sabar? Padahal yang dipertaruhkan adalah jajaran pekerja keras untuk Indonesia yang jauh lebih baik di 5 tahun ke depan.
Seperti harus menjawab segera desakan media dan masyarakat, tepat 6 hari setelah disumpahnya Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, jajaran kabinet kementrian sudah diumumkan pada hari minggu 26 Oktober 2014. Semua muka baru dan hanya tersisa 1 menteri dari periode sebelumnya. Sehari setelahnya, 27 Oktober 2014, mereka langsung dilantik dan diamanatkan untuk segera bekerja keras sesuai dengan nama kabinet untuk periode ini yaitu Kabinet Kerja.
Lalu apa lagi? sekarang cecaran media dan masyarakat ramai-ramai pada nama-nama pilihan mentri. Apalagi sosial media. Agak mengerikan. Bukan hanya tidak sabaran tetapi cenderung pada hinaan yang menjatuhkan.
Saya pribadi pun tidak setuju seorang mentri merokok saat diwawancara oleh media. Tetapi mengapa yang dipermasalahkan adalah mentri ini hanya seorang lulusan SD? Buat saya, ini persoalan attitude bukan kompentensi. Rekam jejak keberhasilannya jelas. Kompetensi yang mumpuni. Persoalan attitudenya, memang harus segera ditindak. Mungkin jadi karena beliau adalah murni orang didikan lapangan. Bukan birokrat yang biasa melakukan impression management. Mari memberi masukan positif dan kawal dan kritis terus agar beliau lebih sensitif dalam urusan ini.
Saya pribadi juga suka under estimate untuk orang yang bekerja karena koneksi ini itu. Tetapi, itu jika urusannya nepotisme murni. Tidak berkompetensi. Sementara, untuk seorang mentri yang walau usianya sangat muda, tetapi telah memiliki rekam jejak memimpin 'pasukan' para senior dan memenangkan pemilu nasional legislatif untuk partainya, mengapa kita harus skeptis bahwa dia adalah mentri titipan sang ibu? Tunggu. Sabar. Kalaupun akhirnya terbukti dia memang tidak mampu, hanya sekedar titipan dari praktik nepotisme, mari media dan kita semua sama-sama kritik keras bahkan kalau perlu desak untuk mundur. Resuffle kabinet bukanlah hal tabu dalam dunia politik dan pemerintahan kita.
Saya sadar, saya bukan termasuk orang sabar. Tetapi absurd rasanya, belum belum apa-apa sudah ada seorang mentri yang diberi komentar bahwa dia tidak akan mampu menumpas mafia migas. Hey..! mereka bahkan belum mulai bekerja. Masih di istana selesai bersumpah. Kritis harus. Tapi tidak boleh tendensius.
Sekarang desakan ketidaksabaran berganti. Tradisi 100 hari masa kerja dari dulu sampai sekarang digadang-gadang menjadi tolak ukur keberhasilan. Jika dalam 100 hari tidak ada aksi wow, maka Presiden dan para mentrinya akan dianggap gagal. Kehilangan momentum. Kehilangan kepercayaan.
Lagi buat saya, logika sederhananya begini. Seorang anak yang masuk kampus/sekolah super favorit sekali pun, perlu waktu 1 semester untuk menunjukkan apakah dia sudah mampu 'memetakan' semua materi untuk diserap dan diselesaikan masing-masing. Dalam 1 semester, mereka akan mendapatkan nilai atau evaluasi. Dan biasanya kita sebagai orang tua, dengan sabar menunggu proses tersebut karena tahu ada hasil nyata selama proses penantian. Apakah anak ini dinilai gagal atau berhasil.
Atau seorang CEO dari perusahaan nasional maupun multinasional, tolak ukur kinerja biasanya dilihat dari performance perusahaan minimal selama 1 tahun sejak dipimipin. Bagaimana pendapatan perusahaan, image dan reputasi perusahaan, dll.
Mungkin contoh sederhana. Tetapi mengapa untuk urusan masalah bangsa yang kompleks dan multidimensi seperti Indonesia, mereka hanya diberi waktu 100 hari?!
Kalau kita, paling tidak para pemilih Jokowi dan Jusuf Kalla, percaya bahwa pemimpin kita sedang bekerja keras di atas sana, mengapa tidak sekalian kita percaya bahwa mereka sudah bekerja keras untuk memilih orang yang akan membantu mereka? Beri mereka waktu. Awasi dan kritisi dengan baik.
Be patient and understanding. Life is too short to be vengeful or malicious (Phillips Brooks)
Mari bersabar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H