Mohon tunggu...
Mia Hs
Mia Hs Mohon Tunggu... wiraswasta -

Born this way

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menyusur Pesisir Jakarta (1): Jejak Portugis di Gereja Tugu

24 April 2012   06:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:11 1952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_176597" align="aligncenter" width="300" caption="foto : pribadi"][/caption]

Hari Minggu tanggal 15 April 2012 kemarin, saya dan teman-teman yang memiliki hobi jalan-jalan dan mulai tertarik untuk belajar jeprat-jepret yang tergabung dalam komunitas Basic Photography memutuskan untuk melakukan perjalanan menyusur pesisir Jakarta, yaitu daerah Tanjung Priok. Lokasi pertama adalah Kampung Tugu, yaitu kampung yang dihuni oleh keturunan Portugis. Di kampung tersebut juga terdapat benda cagar budaya yang dilindungi dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, yaitu Gereja Tugu, yang merupakan salah satu Gereja Tertua di Indonesia.

Pukul 11.30 rombongan tiba di depan Gereja Tugu. Sempat ragu untuk masuk, karena selain ada kegiatan kebaktian, ternyata di Gereja juga terlihat bendera kuning yang menandakan adanya kegiatan duka. Setelah terjadi kebingungan akibat seorang anggota yang ditegur satpam, dan tidak diperbolehkan mengambil gambar Gereja, akhirnya salah seorang dari pihak gereja menjelaskan dan mengijinkan kami untuk melakukan kegiatan sekaligus mengambil foto di areal Gereja namun jangan sampai mengganggu kegiatan yang berlangsung.

Berikut sedikit cerita dari lokasi pertama kami.

Kampung Tugu (Toegoe)

Kampung Tugu berjarak 5 km dari pantai dengan ketinggian ±2 meter dari permukaan laut. Keadaan geografis Kampung Tugu berupa dataran rendah yang dahulunya merupakan daerah persawahan yang cukup luas dengan irigasi yang baik, ini dapat dilihat dengan adanya kali buatan atau irigasi tersier yang berinduk pada kali Cakung. Kali Cakung sendiri dahulu berfungsi ganda, yakni irigasi dan transportasi. Sebelum adanya jalan raya, satu-satunya transportasi yang menghubungkan Kampung Tugu dengan daerah luar adalah perahu.

Daerah Kampung Tugu diperkirakan telah dihuni sejak jaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dari hasil penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1973. Adapun hasil penggalian arkeologi tersebut berupa pecahan-pecahan gerabah lokal (kreweng) dan manik-manik yang berasal dari jaman bercocok tanam atau perundagian (Neolitikum).

Pada tahun 1648 Malaka yang merupakan daerah kekuasaan bangsa Portugis jatuh ke tangan Belanda. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan Portugis lainnya dijadikan tawanan perang Belanda untuk kemudian dibawa ke Indonesia. Namun, setelah itu orang-orang Portugis itu dibebaskan kembali hingga akhirnya mendapat sebutan sebagai kaum Mardijkers. Tahun 1661, orang-orang Portugis dipindahkan ke daerah yang saat ini bernama Kampung Tugu. Inilah asal-usul keturunan Portugis yang tinggal di kampung Tugu. Sampai saat ini keturunan kaum Mardijkers ini masih mempertahankan budaya Portugis, salah satu yang terkenal adalah group musik Krontjong Toegoe.

Menelusuri asal-usul nama Tugu sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda.

Pendapat Pertama : ada sementara orang yang mengatakan bahwa nama Tugu diambil dari tugu sebagai tanda batas tempat atau wilayah yang waktu itu banyak terdapat di daerah ini.

Pendapat kedua : tugu sebenarnya diambil dari kata Por-tugu-ese (Portugis).

Pendapat ketiga : lebih mendekati pada latar belakang sejarah, yakni nama Tugu ada kaitannya dengan prasasti (batu bertulis) yang ditemukan di daerah ini, yaitu batu yang berbentuk bulat telur bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti ini berasal dari abad ke-5 Masehi dan merupakan salah satu dari tujuh prasasti raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara.

Gereja Tugu

[caption id="attachment_176598" align="alignleft" width="240" caption="foto : pribadi"]

1335186106326331306
1335186106326331306
[/caption]

Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia yang terletak di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Secara pasti tidak diketahui kapan mulai dibangun, tetapi para ahli sejarah menyimpulkan sekitar tahun 1676-1678 oleh Melchior Leydecker, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia.

Pada tahun 1737 dilakukan renovasi pertama dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan  Portugis kelahiran Lisabon yaitu Ferreira d'Almeida dan orang-orang Mardijkers.

Tahun 1740 bersamaan dengan terjadinya Pemberontakan Tionghoa (Cina Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, yang terjadi pada masa Gubernur Jendral Adriaan Valckenier yang berkuasa di Batavia pada tahun 1737-1741, Gereja Tugu hancur.

Kemudian pada tahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah Yustinus Vinck gereja ini dibangun kembali, dan baru selesai pada 29 Juli 1747 yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr.

[caption id="attachment_176587" align="alignright" width="300" caption="Foto : Pribadi"]

1335184636601984806
1335184636601984806
[/caption]

Areal Gereja Tugu sendiri mempunyai luas sekitar 1,5 hektar. Sebelum sampai pada bangunan fisik gereja, terdapat kuburan orang-orang Portugis, dimana anak keturunannya biasanya akan mendatangi makam pada saat menjelang natal. Sayang saat kami berkunjung pemakaman tersebut tampak kurang terawat, dilihat dari banyaknya rumput liar yang mulai meninggi.

Sampai saat ini gereja  yang berukuran 20x12 meter dan tinggi sekitar 8  meter berfungsi sebagai "GPIB Tugu". Gereja yang dapat menampung sekitar 300 jemaat ini terbilang unik,  tidak seperti bangunan lain yang biasanya menghadap jalan, Gereja  Tugu justru  menghadap sungai Cakung. Hal Ini semakin mengukuhkan bahwa, dulu, Cakung  merupakan jalur lalu-lintas transportasi air utama untuk menuju gereja.

[caption id="attachment_176759" align="alignleft" width="150" caption="foto : Pribadi"]

1335247305306567680
1335247305306567680
[/caption] Bergaya arsitektur Portugis, dengan jendela-jendela besar khas arsitektur Eropa, bagian depan bangunan dibuat teras dengan  empat tiang penyangga yang dikelilingi pagar kayu berwarna cokelat. Teras ini sendiri dulu berfungsi sebagai tempat duduk-duduk tuan tanah Justinus van der Vinck bila berkunjung ke daerah Tugu, sedangkan saat ini di teras terlihat majalah dinding yang memasang foto-foto kegiatan gereja. Atap gereja sendiri terbuat dari kayu bercat putih, sedangkan lantainya terbuat dari  keramik yang berwarna merah polos. [caption id="attachment_176594" align="aligncenter" width="574" caption="foto : pribadi"]
13351851531275818038
13351851531275818038
[/caption]

Gereja Tugu ini tampak sederhana, selain bangunan Gereja yang merupakan peninggalan sejarah, benda-benda yang terdapat di dalamnya juga memiliki nilai historis tinggi.  Salib serta mimbar khutbah yang terbuat dari kayu merupakan benda yang sudah ada sejak awal pendirian Gereja Tugu yakni pada tahun 1744. Bangku diakon antik dan piring-piring logam tertata dengan apik. Di kanan-kiri mimbar terdapat kursi-kursi yang  dipagari kayu berwarna cokelat untuk tempat duduk anggota majelis gereja dan  grup paduan suara.

Sementara lonceng gereja yang terdapat di sisi kanan bangunan, telah berumur sekitar tiga abad. Lonceng yang sampai saat ini masih terlihat kokoh tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 1880, sedangkan lonceng paling tua yang dibuat 1747 sudah rusak dan disimpan di rumah pendeta.

Renovasi yang Kontroversi

Karena usia bangunan yang tua dan dipandang perlu melakukan beberapa perbaikan atas usul masyarakat Tugu, pemerintah DKI membantu melakukan pemugaran sejak bulan Oktober 2009 silam dan selesai dipugar setelah Natal atau akhir Desember di tahun yang sama. Namun sayangnya pemugaran yang dilakukan justru menuai kontroversi karena struktur bangunannya tidak lagi mencerminkan bangunan asli.

Pihak gereja dan masyarakat menilai setidaknya terdapat tiga kejanggalan yang merusak struktur asli bangunan :

13351871711168903778
13351871711168903778
1. Kanopi di teras depan seharusnya menempel dengan dasar atap. Namun kenyataannya kanopi berada sekitar satu meter di bawahnya.

2. Pinggiran atap kurang lebar 2 meter sehingga dindingnya rawan terkena air dan lembab yang menyebabkan tembok gereja berjamur.

[caption id="attachment_176592" align="aligncenter" width="531" caption="foto : pribadi"]

13351850252043008875
13351850252043008875
[/caption]

3.  Ketiga, pendingin ruangan atau AC kurang fleksibel alias tidak bisa dipindah-pindah seperti dahulu.

Selain itu, warna cat juga sempat dipermasalahkan. Pasalnya, kontraktor mengecat dinding luar dengan warna yang tidak sama alias belang-belang sehingga terlihat kusam. Swadaya melalui kantong jemaat maka Gereja tersebut di cat ulang, sehingga kini terlihat rapi.

AKSES

Untuk menuju Kampung Tugu cukup mudah. Jika berangkat dari Stasiun Tanjung Priok,  Jakarta Utara, cukup mencari angkutan kota bernomor 01 arah jalur  Cakung-Cilincing,  berhenti di jalan Tugu, kemudian berjalan kaki dengan jarak sekitar 250 meter.

ref : Wikipedia bahasa Indonesia

http://www.jakarta.go.id/web/news/1990/01/Kampung-Tugu

http://www.christianpost.co.id/gereja/20100723/5137/pemugaran-gereja-tugu-menuai-kontroversi/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun