Mohon tunggu...
Mia Oktavia
Mia Oktavia Mohon Tunggu... Freelancer - Unisnu '18

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teknik Mutual Storytelling untuk Mengurangi Perilaku Bullying Pada Siswa SD

3 November 2019   20:27 Diperbarui: 3 November 2019   20:34 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siswa sekolah dasar berada pada masa perkembangan middle childhood atau disebut sebagai school age(Erikson). Pada masa ini, anak-anak mengalami perkembangan pada beberapa aspek. Pada tahap perkembangan ini tidak jarang anak mengalami permasalahan atau hambatan. Salah satu permasalahan yang terjadi pada anak usia sekolah dasar adalah bullying. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian Kustanti yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa pada semua tingkat pendidikan pernahmendapatkagangguandariteman.

     keterlibatan dalam intimidasi akan merusak perkembangan anak muda yang sehat dan mengubah dunia menjadi masyarakat yang tidak berfungsi baik dari segi keduanya lingkungan sosial dan karakteristik sosial mereka. Penting bagi masyarakat untuk mengembangkan strategi  mencegah bullying, dan sekolah dianggap sebagai pengaturan yang sangat penting untuk implementasi pendekatan sistematis untuk mencegah perilaku intimidasi karena ini adalah pengaturan di mana orang muda dia menghabiskan banyak waktu dan mengembangkan keterampilan dan hubungan sosial. Selanjutnya, sekolah berada dalam posisi untuk memulai kolaborasi dengan kedua orang tua dan masyarakat setempat yang penting untuk jangkauan luas dampak dari strategi pencegahan.

     Bullying yang terjadi pada anak-anak sekolah dasar memang sering dijumpai mulai dari bullying verbal hingga bullying fisik atau nonverbal. Dampak yang diakibatkan oleh bullying tidak boleh disepelekan, karena dampaknya sangat berbahaya. Bullying berdampak negatif bagi pelaku maupun korban, dampak yang dialami korban bullying antara lain merasa rendah diri sampai pada depresi, serta menimbulkan cemas dan insomnia. Sedangkan dampak pada anak yang melakukan bullying adalah pelaku bullying lebih beresiko mengalami depresi, terlibat dalam perilaku kriminal, kenakalan, dan penggunaan alkohol saat anak tersebut tumbuh dewasa (Latifah dalam Ifa, dkk, 2017).

     Begitu bahayanya dampak dari bullying bagi anak-anak sehingga penulis menggagas ide untuk mencegah dan mengurangi dampak bullying tersebut dengan menulis artikel yang berjudul "Pendidikan Karakter melalui Teknik Mutual Storytelling untuk Mengurangi Perilaku Bullying pada Siswa SD". Teknik mutual storytelling dianggap sesuai digunakan untuk mengatasi masalah ini karena pada usia sekolah dasar, imajinasi dan dunia fantasi mereka masih tinggi. Mutual storytelling merupakan teknik konseling dengan bercerita dimana konseli dan konselor sama-sama menceritakan cerita. Teknik ini menurut Gardner (dalam Erford, 2015) paling berguna untuk klien yang berumur 5 sampai 11 tahun. Kottman dan Stiles percaya bahwa teknik mutual storytelling dapat digunakan untuk memperbaiki perilaku salah klien (Erford, 2017). Bullying merupakan salah satu perilaku salah yang dilakukan oleh konseli atau klien sehingga berdasarkan beberapa alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, mutual storytelling cocok digunakan sebagai teknik untuk mengurangi perilaku bullying pada siswa sekolah dasar.

Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar 

     Perkembangan anak pada usia sekolah dasar sering disebut sebagai middle childhood atau ada juga yang menyebutnya sebagai late childhood. Tahap perkembangan ini dimulai ketika anak memasuki kelas satu sekolah dasar yang ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian social anak (Hurlock, 1980). Masa perkembangan ini juga biasa disebut sebagai masa berkelompok karena anak-anak memiliki minat yang tinggi terhadap aktivitas berkelompok dengan teman-temannya dan ingin diakui sebagai anggota kelompok (Hurlock, 1980). Bentuk yang peling dapat diamati dari perilaku anak-anak adalah ketika mereka membentuk geng dengan teman-temannya untuk memperoleh kesenangan. Geng pada anak-anak menurut Hurlock (1980) memiliki ciri-ciri diantaranya:

a. Geng anak merupakan kelompok bermain

b. Untuk menjadi anggota geng, anak harus diajak

c. Anggota geng terdiri dari jenis kelamin yang sama

d. Pada mulanya geng terdiri dari tiga atau empat anggota, tetapi jumlah ini meningkat dengan bertambah besarnya anak dan bertambahnya minat pada olahraga Geng anak laki-laki lebih sering terlibat dalam perilaku sosial buruk daripada anak perempuan

f. Kegiatan geng yang popular meliputi permainan dan olahraga, pergi ke bioskop, dan berkumpul untuk bicara atau makan Bersama

g. Geng mempunyai pusat pertemuan yang biasanya jauh dari pengawasan orang dewasa

h. Sebagian besar kelompok mempunyai tanda keanggotaan, misalnya anggota kelompok memakai pakaian yang sama

i. Pemimpin geng mewakili ideal kelompok dan hampir dalam segala hal lebih unggul dari pada anggota-anggota yang lain.

     Namun, Hurlock (1980) juga menyatakan bahwa keanggotaan kelompok dapat menimbulkan akibat yang kurang baik dan mengganggu sosialisasi bagi anak, seperti penolakan dan pertentangan dengan orang tua ketika anak menjadi anggota geng, permusuhan antar anak-anak semakin meluas, kecenderungan anak untuk mengembangkan prasangka terhadap anak yang berbeda, dan cara anak yang kurang baik dalam memperlakukan anak-anak yang bukan anggota gengnya. Bahkan perlakuan yang kurang baik tidak hanya dilakukan terhadap anak yang berada di luar gengnya saja, tetapi sering juga terjadi perkelahian di dalam kelompok geng.

     Anak-anak usia sekolah dasar sudah memiliki konsep keindahan pada dirinya.  Hurlock (1978) menjelaskan bahwa konsep keindahan ketika anak sudah berada dan bersosialisasi di lingkungan sekolah tidak hanya menilai indah atau jelek berdasarkan apa yang mereka sukai saja, tetapi mereka menganggapnya berdasarkan standar kelompok. Hal ini karena mereka sudah mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki standar keindahan yang berbeda. Tak hanya konsep keindahan pada objek-objek seperti warna, gambar, dan benda saja tetapi anak pada usia ini juga memiliki konsep keindahan tubuh. Konsep keindahan tubuh dipengaruhi oleh tekanan budaya, seperti anak tidak menyukai bentuk tubuh yang gemuk dan menganggap tubuh ramping itu indah. Anak yang menyimpang dari bentuk stereotip, misalnya dalam berat badan, tinggi badan atau bentuk tubuh kemungkinan menjadi bahan ejekan dan mendapat nama julukan yang menunjukkan bagaimana perasaan teman sebayanya tentang bentuk tubuhnya. 

     Terdapat beberapa minat umum pada masa anak-anak salah satunya adalah minat terhadap lambang status. Lambang status atau prestise menunjukkan pada orang lain bahwa dia memiliki status lebih tinggi dari pada orang yang sekelompok dengan dia. Anak- anak menyadari pentingnya lambang status untuk menarik perhatian dan penting dalam peran sosial. Kesadaran ini memperkuat minat anak terhadap lambang status (Hurlock, 1978). Hurlock (1978) juga menyebutkan beberapa kriteria lambang status yang diminati oleh anak, diantaranya: ia harus memberi anak kepuasan dalam bentuk perhatian social terutama dari kelompok teman sebaya, harus dihargai orang lain agar ia dapat memberi perhatian yang diharapkan anak, menunjukkan kepada anak lain baik langsung maupun tidak langsung status sosio-ekonomi yang baik, dan lambang status harus tampak oleh semua anak agar menimbulkan minat yang kuat. Untuk menunjukkan lambang status yang dimilikinya, anak-anak akan menunjukkannya dalam berbagai cara, seperti bersombonng dan membual mengenai kepemilikan keluarga mereka, membandingkan miliknya dengan milik temannya, melamunkan lambang status yang diinginkan, sampai memberikan komentar meremehkan milik orang lain, Bullying sering dilakukan oleh anak-anak baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya. 

     Bullying menurut Tirmidziani dkk. (2018) adalah suatu bentuk kekerasan anak yang dilakukan teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih rendah atau lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Bullying dapat berupa ucapan (bullying verbal), fisik (bullying nonverbal), dan mental atau psikologis. Olweus (dalam Tirmidziani dkk, 2018) memaparkan contoh tindakan negatif yang termasuk dalam bullying antara lain:

a. Mengatakan hal yang tidak menyenangkan atau memanggil seseorang dengan julukan yang buruk

b. Mengabaikan atau mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena suatu tujuan.

c. Memukul, menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik.

d. Mengatakan kebohongan atau rumor yang keliru mengenai seseorang atau  membuat siswa lain tidak menyukai seseorang dari hal-hal semacamnya. 

     Bullying terjadi pasti tidak tanpa sebab, tetapi ada faktor yang melatarbelakanginya. Quroz dkk (dalam Tirmidziani dkk, 2018) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan bullying, sebagai berikut:

a. Hubungan keluarga. Lingkungan pertama yang ditemui oleh anak adalah linigkungan keluarga. Ketika anak hidup dalam keluarga yang mentoleransi kekerasan dan bullying maka anak akan menganggap bullying sebagai perilaku yang boleh dilakukan.

b. Teman sebaya. Teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan menyebarkan ide (secara aktif maupun pasif) bahwa bullying bukan masalah besar dan sesuatu yang wajar untuk dilakukan akan mendorong anak untuk melakukan bullying.

c. Faktor sekolah. Sekolah yang membiarkan perilaku bullying siswanya di sekolah, pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten akan membuat siswa pada sekolah tersebut melakukan bullying.

d. Media massa. Anak-anak yang melakukan bullying bias jadi karena mereka menirukan apa yang mereka lihat dan dengar di media massa.

e. Faktor budaya. Faktor kriminal budaya, seperti suasana politik yang kacau, perekonomian yang kacau, prasangka, diskriminasi, dan konflik dalam masyarakat dapat mendorong anak untuk melakukan bullying.

      Perilaku bullying dapat berdampak bagi pelaku maupun korban bullying, dampak ini terjadi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dampak jangka pendek yang mungkin timbul akibat perilaku bullying di sekolah dasar dapat berupa perasaan tidak aman dan terancam, tidak bersemangat saat belajar, tingginya tingkat ketidak hadiran disekolah, dan terjadinya penurunan prestasi akademik di sekolah. Dampak jangka panjang bagi anak korban bullying di sekolah akan mengalami trauma besar dan depresi yang akhirnya bisa menyebabkan gangguan mental di masa yang akan datang (Ehan dalam Ifa dkk, 2017). Bahkan Klomek, dkk (Kurnia, 2018) menyatakan bahwa pelaku dan korban bullying di masa remaja cenderung mengalami depresi dan berniat untuk bunuh diri. 

     Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Sudarsana, 2016). Menurut Megawangi (Sudarsana, 2016) di negara Cina, kesuksesan dalam menerapkan pendidikan karakter sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart,and hands.

     Banyaknya bullying yang terjadi pada anak-anak bisa jadi disebabkan karena kurang efektifnya pendidikan karakter. Karena, bullying menunjukkan kurang baiknya karakter orang tersebut. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaikan, keinginan terhadap kebaikan, dan berbuat kebaikan yang dapat ditunjukkan dengan baiknya pikiran, perkataan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan menghormati dan menghargai orang lain, tidak menyakiti orang lain, jujur, bertanggung jawab, dan kerja keras.

     Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Lickona (Shaleh, 2018) yang menyatakan bahwa karakter tersusun dari tiga komponen bagian yang saling berhubungan yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Menurut Koesoema (Sudarsana, 2016) pendidikan karakter bukan hanya sekedar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter di sini diharapkan dapat menyembuhkan penyakit sosial yang selama ini sudah merajalela. Pendidikan karakter ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi proses perbaikan akhlak. 

Teknik Mutual Storytelling 

     Mutual storytelling adalah salah satu teknik dalam konseling dimana konseli dan konselor saling bercerita. Jadi, tak hanya konselor saja yang menceritakan cerita terhadap konseli, tetapi konseli juga menceritakan cerita yang dikarangnya sendiri. Erford (2015) menyatakan bahwa bercerita dapat memainkan peran yang sangat membantu dalam konseling, karena cerita mencerminkan hukum kultural, etika, dan aturan sehari-hari yang mengatur perilaku dan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan cerita, akan mengantisipasi resistensi konseli ketika membicarakan kekeliruan tindakannya karena yang diceritakan adalah kekeliruan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita. Konseli juga bisa diajak untuk mendiskusikan akibat yang diterima oleh tokoh cerita dari kekeliruan perilaku yang dilakukan. Dengan menggunakancerita yang relevan dengan orang tertentu di waktu tertentu, pelajaran yang disampaikan dalam Teknik mutual storytelling lebih berkemungkinan untuk diterima oleh anak-anak (Erford, 2015).

     Sebelum menggunakan teknik storytelling, penting untuk menciptakan hubungan yang baik dengan konseli dan memahami konseli. Erford (2015) menjelaskan langkah-langkah dalam mengimplementasikan teknik mutual storytelling. Langkah pertama yang dalam teknik ini adalah memunculkan cerita fiktif karangan konseli sendiri. Untuk memunculkan cerita dari konseli, konselor perlu memberikan arahan kepada konseli dan membantu konseli jika dia mengalami kesulitan dalam bercerita. Sementara konseli bercerita, konselor memperhatikan dan mencatat untuk menganalisis isi cerita maupun memformulasikan variasi cerita konselor sendiri. Ketika konseli sudah selesai bercerita, tanyakan pesan moral yang dapat diambil dari cerita tersebut, dan tanyakan pula judul cerita serta konseli ingin menjadi tokoh yang mana. Konselor juga seharusnya memfokuskan pada bagaimana konseli melihat dirinya, orang lain, dan dunia, maupun pola-pola apa dan tema-tema apa yang muncul untuk membantu konselor dalam memilih tema yang dapat diterapkan pada saat itu. Setelah mengidentifikasi mode adaptasi yang lebih matang atau lebih sehat, konselor menggunakan tokoh, ranah, dan situasi awal konseli untuk menceritakan suatu kisah yang sedikit berbeda untuk menyediakan alternative yang lebih banyak dan lebih baik untuk mengatasi berbagai masalah, mendapatkan pemahaman tentang permasalahannya, dan mengembangkan kesadaran tentang berbagai perspektif dan kemungkinan baru. Setelah konselor selesai bercerita, konseli diminta mengidentifikasi pelajaran atau moral yang terdapat dalam cerita konselor. Merekam cerita juga diperbolehkan dalam hal ini, sehingga memungkinkan konseli dapat melihat atau mendengarkan berkali-kali ceritanya maupun cerita konselor untuk mendapat pesan dari cerita tersebut.

     Beberapa ahli mengembangan variasi-variasi dalam teknik mutual storytelling ini. Gardner (Erford, 2015) mengembangkan sebuah permainan yang disebut the storytelling card game yang memungkinkan konseli untuk memilih tokoh-tokoh atau adegan latar belakang yang berfungsi untuk menstimulasi bercerita. Dia juga mengembangkan satu set permainan lain yaitu pick and tell game, yang memungkinkan konseli untuk mengambil suatu mainan, suatu kata, atau suatu gambar orang dari masing-masing bag of toys, bag of words, atau bag of faces. Konseli kemudian membuat cerita dari objek yang diambil dan menceritakan moral atau pelajaran dari cerita itu. Winnicot (Erford, 2015) mengembangkan scribble game, di mana konseli bercerita berdasarkan gambar-gambar. 

     Konselor memulai dengan menutup matanya dan menggambar pada selembar kertas. Kemudian konseli mengubah coretan-coretan tersebut menjadi sesuatu dan menceritakan tentang hal itu. Permainan dilanjutkan ketika konseli kemudian menggambar sesuatu untuk diselesaikan dan diinterpretasikan oleh konselor. Variasi-variasi yang lain yaitu bermain boneka, penggunaan wayang boneka, dan menulis cerita. Webb (Erford, 2015) menggabungkan bercerita dengan bermain boneka untuk mendorong konseli memainkan berbagai situasi keluarga. Terakhir yaitu permainan menulis mutual storytelling yang dikembangkan oleh Scorzelli dan Gold. Teknik ini melibatkan konseli dan konselor untuk membuat cerita secara bersama-sama.

     Teknik mutual storytelling dapat digunakan untuk memfasilitasi pengembangan hubungan yang baik antara konselor dengan konseli. Namun, teknik ini tidak disarankan untuk konseli yang memiliki keterampilan verbal yang kurang baik atau kemampuan kognitif di bawah rata-rata. Gardner (Erford, 2015) teknik mutual storytelling paling cocok diterapkan pada anak usia 5 sampai 11 tahun, karena anak di bawah lima tahun tidak mampu menceritakan sebuah cerita yang terorganisasi dan konseli yang berusia lebih dari sebelas tahun mulai menyadari bahwa mereka sedang mengungkapkan dirinya sendiri dalam ceritanya dan mungkin akan menjadi resisten. Akan tetapi, Stiles dan Kottman (Erford, 2015) mengungkapkan bahwa usia terbaik untuk penggunaan teknik mutual storytelling adalah antara 9 sampai 14 tahun, karena semakin tua konseli akan semakin canggih keterampilan verbal, imajinasi, dan pengalaman hidupnya.

Implementasi Pendidikan Karakter melalui Teknik Mutual Storytelling untuk Mengurangi Perilaku Bullying pada Siswa SD 

     Pendidikan karakter melalui teknik mutual storytelling untuk mengurangi perilaku bullying pada siswa Sekolah Dasar (SD) dapat dilakukan oleh konselor sekolah atau guru BK di SD dengan format layanan konseling individual. Dalam melakukan konseling dengan anak-anak, tentunya harus memperhatikan beberapa hal, misalnya setting tempat atau ruang konseling, pakaian konselor, dan media. Tentunya sebelum memberikan layanan, guru BK harus membuat asesmen terhadap siswanya. Asesmen tersebut digunakan untuk mengetahui kebutuhan siswanya, terutama siswa yang terlibat bullying atau siswa yang melakukan bullying. Ketika sudah menemukan siswa yang melakukan bullying, guru BK bisa melakukan konseling dengan siswa tersebut.

     Langkah awal yang harus dilakukan guru BK adalah memahami dan menciptakan hubungan baik dengan siswa tersebut atau dapat disebut konseli. Hubungan baik antara guru BK dengan konseli sangat dibutuhkan demi kelancaran proses konseling yang akan dilaksanakan. Jika sudah terbentuk hubungan yang baik antara guru BK dengan konseli, langkah selanjutnya adalah mengajak konseli untuk memilih media baik gambar, boneka, wayang, atau media lainnya yang akan digunakan sebagai tokoh dalam bercerita. Selanjutnya, biarkan konseli bercerita sesuai imajinasinya. Ketika konseli sedang bercerita, perhatikan dengan baik dan pahami ceritanya. Jika perlu mencatat cerita konseli untuk kepentingan analisis, guru BK diperbolehkan mencatat tetapi tidak setiap saat dan perhatiannya tetap harus ke konseli. Setelah konseli selesai bercerita, tanyakan pada konseli pesan moral yang dapat diambil dari ceritanya, judul cerita, dan tanyakan pula konseli ingin menjadi tokoh yang mana dalam ceritanya.

     Langkah selanjutnya yaitu guru BK menceritakan kembali cerita yang diceritakan konseli dengan bahasa dan alur yang berbeda sehingga menyediakan alternatif yang lebih banyak dan lebih baik untuk mengatasi berbagai masalah, mendapatkan pemahaman tentang permasalahan konseli, dan mengembangkan kesadaran tentang berbagai perspektif dan kemungkinan baru. Setelah guru BK selesai bercerita, konseli diminta mengidentifikasi pelajaran atau moral yang terdapat dalam cerita dari guru BK. Dari cerita tersebut, konseli diajak untuk mendiskusikan pesan moral cerita dan juga mengarahkan konseli untuk tidak melakukan bullying. Tentunya penyampaian tersebut harus menggunakan bahasa yang lembut dan mudah dipahami oleh konseli sehingga konseli menangkap pesan dari guru BK dengan baik. Jika langkah-langkah tersebut sudah dijalankan, terakhir kali yang harus dilakukan guru BK adalah evaluasi dan tindak lanjut terhadap hasil dari proses konseling yang sudah dilaksanakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

 

     Erford, Bradley T. (2015). 40 Teknik yang Harus Diketahui Setiap Konselor (Edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

     Fonseca Carvalhosa, Susana. (2009). Prevention Of Bullying in Schools: An Ecological Model. International Journal of Developmental and Educational Psychology. vol. 4, num. 1.

     Hanan, Basaria, and Yanuar. (2018). Penerapan Group Art Therapy bagi Anak-Anak Masa Pertengahan yang Memiliki Kecenderungan Agresi Verbal. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 2(1), 97-107.

     Hurlock, Elizabeth B. (1978). Perkembangan Anak Jilid 2 (Edisi ke-6). Jakarta: Penerbit Erlangga.

     Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi ke-5). Jakarta: Penerbit Erlangga.

     Ifa, Nurjanah, and Suryaningsih. (2017). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tindakan Bullying pada Anak Kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Bandung Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Kartika, 12(2), 48-60.

     Kurnia and Aeni. (2018). Indikasi Bullying Fisik pada Siswa SD dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak Menurut Tuntunan Agama. Mimbar Sekolah Dasar, 5(2), 97-115.

     Kurniawan and Pranowo. (2018). Bimbingan Kelompok dengan Teknik Sosiodrama sebagai Upaya Mengatasi Perilaku Bullying di Sekolah. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan, 2(1), 50-60.

     Shaleh, Achmad A.Z.M. (2018). Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Islam Al Syukro Ciputat, Tangerang Selatan: Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

     Sudarsana, I Ketut. (2016). Membentuk Karakter Siswa Sekolah Dasar melalui Pendidikan Alam Terbuka. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar: Jayapangus Press.

     Tirmidziani, et al. (2018). Upaya Menghindari Bullying pada Anak Usia Dini melalui Parenting. Jurnal Pendidikan: Early Childhood, 2(1), 1-8.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun