Mohon tunggu...
Mia Olivia
Mia Olivia Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Jadi-jadian

Suka masak dan menulis, apalagi jika menulisnya di pinggir pantai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Ramona dari Adinda

6 Maret 2024   21:13 Diperbarui: 6 Maret 2024   21:18 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mun, apakah kau masih membenci orang yang bercinta dengan pasangan orang lain?

          Apakah benar-benar sebuah salah dan dosa untuk mencintai laki-laki beristri? Siapa yang menentukan salah benar itu, Mun? Masyarakat? Agama? Negara? Aku tidak menginginkan untuk merebut dia dari siapapun, Mun. Tidak dari istrinya, dari anak-anaknya, ataupun dari dirinya sendiri. Aku tidak ingin masuk ke kehidupannya yang ia bangun bersama keluarganya selama hampir lima belas tahun, tidak sedikitpun. Aku hanya ingin bersamanya saat ia ingin bersamaku, di waktunya yang dikhususkan untukku. Ia selalu punya waktu untuk keluarganya, untuk dirinya, untuk aku, dan tidak ada yang memonopoli.

          Apakah dulu saat kita bercanda soal jodoh, aku tidak sengaja mengatakan sesuatu yang diaminkan oleh malaikat ya? Kau ingat tidak, Mun? Waktu itu kita masih duduk di kelas 3 SMU dan kita berkelakar tentang jodoh kita. Kau bilang waktu itu ingin jodoh yang manis, murah senyum, seperti tokoh di drama Jepang favorit. Dan aku saat itu asal saja menjawab bahwa aku ingin orang yang bersamanya aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Jujur, saat itu maksudku adalah aku ingin merasakan dicintai dan mencintai sepenuhnya, kemana-mana sambil tertawa bersama, melakukan hal romantis, segala hal-hal yang berbeda dengan yang aku lihat dari kedua orangtuaku. Ya, aku memang mendapatkan itu semua darinya, Mun. Dia romantis, selalu memastikan aku bahagia, akupun selalu ingin membuatnya bahagia. Bersamanya waktu terasa berhenti sejenak dan terasa luas sekali, dinding-dinding menjadi nihil dan semesta menjadi tanpa batas. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Ia membawaku ke dunia yang berbeda.

          Mun, apakah seseorang bisa mencintai lebih dari satu orang pada saat yang bersamaan? Ini bukan soal cinta antara keluarga atau teman, ini soal cinta dengan pasangan, dengan kekasih. Aku dulu pernah menanyakan ini kepada orangtuaku, dulu sekali. Bapakku bilang bahwa kita tidak bisa mencintai orang lebih dari satu dalam waktu bersamaan meski orang itu sudah tiada sekalipun. Bapak bilang, perasaan utuh dan penuh saat mencintai itu tidak bisa dibagi-bagi, karenanya disebut utuh dan penuh bukan setengah atau seperempat. Sementara Ibuku bilang, manusia bisa mencintai lebih dari satu orang dengan sama utuhnya, sama bahagianya. Saat itu aku tidak paham kenapa mereka berdua bisa berbeda jawabannya, tapi dua puluh tahun kemudian, aku mengerti bahwa mereka merefleksikan perasaannya masing-masing. Bapakku mencintai seorang perempuan di masa remajanya, yang meninggal karena sakit berat, dan ia tidak bisa mencintai siapapun lagi selain perempuan itu, meski ia menikah dengan Ibuku dan melahirkan tiga anak, dan tetap menjadi suami dan bapak yang baik sampai ia meninggal. Sementara Ibuku, ia berharap Bapak bisa mencintainya dengan utuh, meski keutuhan cinta Bapak juga milih perempuan mati muda itu. Kalau mencintai orang lain selain pasangan kita, lalu siapa yang Bapak selingkuhi ya Mun? Ibuku atau perempuan itu? Ah, kenapa jadi membicarakan orangtuaku, kita kan lagi membahas aku, dan laki-laki itu.

          Ia pernah bertanya padaku Mun, apakah aku ingin dia menceraikan istrinya. Tenang dulu Mun, kau jangan emosi. Aku menjawab bahwa aku tidak ingin dia melakukan apapun yang ia tidak kehendaki. Kalau ia menceraikan istrinya, atau mengakhiri hubungan denganku, itu atas kehendaknya, bukan atas paksaan atau permintaan siapapun. Ia juga bertanya apakah aku ingin bertemu dengan anak-anaknya. Aku menjawab untuk apa aku bertemu dengan anak-anaknya. Istri dan anaknya adalah bagian hidupnya yang lain, dunianya yang lain, yang tidak ingin aku masuki karena aku tidak punya kepentingan apapun di situ. Duniaku adalah saat aku bersamanya, meski itu hanya 120 menit, maka 120 menit itulah milikku, duniaku dan dia. Ia tidak merespon apapun dari jawabanku itu, hanya menatap langit sambil merengkuhku dengan lebih erat. Ia memang tidak terlalu banyak bicara, Mun. Ia bicara dengan matanya, bukan dengan mulutnya.

          Kau juga mungkin bertanya, apakah ada kemungkinan ia memanipulasi. Aku ingat sekali urutan pertanyaanmu, Mun, yang sering kau tanyakan pada dampingan-dampinganmu. Aku tidak dimanipulasi siapapun, Mun dan aku juga tidak memanipulasi siapapun. Aku punya cukup kesadaran diri untuk memilih dan melakukan sesuatu serta tahu apa konsekuensi yang aku terima atas aksiku tersebut. Tidak semua perempuan yang mencintai laki-laki beristri adalah korban laki-laki, Mun sayang. Tidak ada korban atau pelaku di sini. Aku mungkin akan jadi korban kalau aku tidak tahu ternyata ia laki-laki beristri dan ia mengaku bujangan dan aku juga mungkin akan jadi pelaku kalau aku menyuruhnya untuk menjahati istrinya atau meneror istrinya demi merasa superior. Tidak satupun dari hal itu terjadi Mun. Tidak selamanya seorang perempuan pasti korban. Perempuan punya daya pikir dan punya kemampuan untuk berkeputusan secara berdaya, Mun, sama seperti laki-laki. Dari dulu ingin sekali aku sampaikan itu padamu.

          Apakah kau kecewa, Mun? Aku tahu bahwa dari dulu kau sangat membenci orang yang berpacaran dengan pasangan orang lain. Tidak sekali dua kali kau mengatakan dengan lantang betapa penghancur rumah tangga orang itu tempatnya di neraka jahanam. Namun, aku tidak menghancurkan rumah tangga siapapun, Mun. Ya, ini terdengar seperti membela diri, aku tahu kau ingin mengatakan apa. Kau pasti akan mengatakan bahwa rumah tangganya belum hancur karena istrinya belum tahu. Karena itulah Mun, aku tidak ingin masuk ke dunianya yang ia bangun bersama istri dan anak-anaknya, karena aku tidak ingin menghancurkan rumah tangga orang lain, apalagi rumah tangga orang yang aku cintai. Aku juga tahu kau pasti akan bertanya bagaimana kalau dia ternyata punya orang lain selain aku. Aku tahu semua apa yang mau kau tanyakan Mun, karena kita bersama sudah lama sekali. Mungkin dia punya orang lain selain aku, mungkin tidak. Aku tidak mau bertanya padanya atau bertanya-tanya sendiri. Untuk apa aku merepotkan diriku dengan pertanyaan yang hanya akan mengganggu kedamaian duniaku? Kalaupun dia punya orang lain lagi-lagi itu adalah dunianya yang dia bangun bersama orang lain lagi, dan aku tidak ingin masuk ke dalam dunia itu atau mengetahuinya. Seperti yang aku bilang, meski dalam 24 jam ia hanya punya 120 menit untukku, itulah duniaku bersamanya dan tidak ada yang bisa mengambil itu dariku, bahkan pikiranku sendiri tidak kuizinkan untuk mengambil itu.

          Sulit ya Mun, saat kawanmu sendiri menjadi sosok orang yang paling kau benci di muka bumi. Semoga hanya sosokku yang kamu benci, tapi bukan aku sebagai diriku. Aku menyampaikan ini semua padamu karena kaulah orang yang paling aku percaya, meski kita sudah lama tidak berjumpa tapi aku tahu persahabatan kita juga didasari cinta. Cinta antara sahabat. Aku ingin berbagi kisahku, seperti yang kita lakukan semenjak di sekolah menengah dulu, sampai akhirnya kau berangkat ke Kanada untuk bekerja. Aku harap kita bisa berbincang sesegera mungkin ya, Mun. Tentu, kalau kau sudah tidak emosi membaca surelku ini. Salam sayang untukmu Ramona, dari Adinda.

Ramona menghela napas panjang membaca surel bertanggal dua minggu yang lalu itu. Ia mengulang dari paragraf pertama sampai tiga kali untuk memastikan apakah yang ia baca itu benar atau ia hanya berhalusinasi akibat terlalu lelahnya ia bekerja.

          Setelah berhasil mengumpulkan lagi emosinya, ia mematikan laptopnya. Tubuhnya lelah sekali ditambah dengan membaca surel dari sahabatnya.

          " Siapa itu, Honey? " tanya seorang laki-laki campuran Kanada - Jepang dari dapur.

          " Sahabatku mengirimkan surel. Sudah lama sekali kami tidak berkontak karena aku sangat sibuk dan ia juga ternyata ada kesibukan yang tidak kalah menantangnya, " jawab Ramona sambil duduk di meja pantry. Harum masakan menggugah seleranya.

          " Kau harus mengontaknya lebih sering kalau begitu, "

          " Iya, aku akan meneleponnya via video call lusa nanti. Besok aku masih ada rapat dengan donatur organisasi. "

          Laki-laki itu tersenyum dan kembali kepada panci dan masakannya yang sudah setengah jalan. Ramona menatap punggung laki-laki itu dengan hangat. Ia mendadak rindu sekali pada Adinda dan ingin sekali menghabiskan berjam-jam bercerita, seperti dulu kala. Yang terpenting, ia ingin menyampaikan pada Adinda bahwa ia sama sekali tidak kecewa atau membencinya. Ramona ingin mengatakan bahwa cinta itu ternyata lebih sulit ditebak, abstrak dan tidak bisa dikungkung dengan aturan moral atau apapun. Betapa Ramona tidak sabar untuk mengatakan pada Adinda, bahwa ia sekarang mencintai  laki-laki di depannya ini selain laki-laki yang menikah dengannya 7 tahun lalu dan bahwa laki-laki ini dan laki-laki yang menikah dengannya 7 tahun yang lalu, dulunya adalah sepasang kekasih.

          " Hei, kok bengong? Itu makananmu sudah matang dan ponselmu berbunyi. "

          Ramona tersadar dari lamunannya. Ponselnya berbunyi dan nama suaminya di situ. " Iya sayang? Oh anak-anak sudah makan malam? Oke. Oke, salam untuk Mama dan Papa ya. Ya, ini aku masih di kantor. Oke, akan kusampaikan salam untuk yang lain. Bye, sayang. " kata Ramona lalu menutup ponselnya dan mulai makan malam dengan riang, tak sabar akan hari lusa.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun