Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pandemi Mempercepat Literasi Digital?

8 September 2021   18:59 Diperbarui: 8 September 2021   19:02 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beliau Pak Rahmat,  seorang paruh baya penjaga keamanan disalah satu gudang padi. Memiliki alat komunikasi baginya 'sunah' sebagai alat untuk memudahkan komunikasi dalam pekerjaan, itupun handphone yang digunakan bukan termasuk handphone pintar seperti orang kebanyakan.

Putra sulungnya yang kala itu duduk dibangku SMP mulai meminta untuk dibelikan Handphone pintar, suatu keinginan yang menurut bapaknya terlalu dini. Namun, ada hal lain yang ia pikirkan, bukan tanpa alasan putranya meminta alat tersebut. Semua sekolah mulai belajar dari rumah, dan sangat masuk akal jika pembelajaran itu mememerlukan alat untuk belajar.  

Ini kalipertama pengalaman Pak Rahmat dalam waktu singkat. Ia dan anggota keluarganya bersentuhan dengan teknologi, sekaligus pendamping belajar layaknya guru yang turut andil dalam mengarahkan putranya mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dari sekolah. 

Ia menyadari bahwa mendamping belajar tidak semudah seperti mengolah lahan sawah, perlu kesabaran dan banyak belajar terlebih  ketika anaknya sering mengeluh soal jaringan, kuota habis dan aplikasi yang terkadang perlu pemahaman ekstra.

Pengalaman Pak Rahmat mungkin saja dialami sebagian besar oleh masyarakat ataupun orang tua di Indonesia. Alat komunikasi handphone bagi sebagian orang bisa jadi bukan barang prioritas dan perlu untuk dimiliki. 

Disisi lain orang beranggapan bahwa memiliki handphone pintar adalah tuntutan masyarakat modern sebagai pelaku 'digitalisasi informasi', 'transisi pasar', 'personal branding' dan tetek bengek lainnya. Persoalan ini tentunya menjadi kutub yang saling berlawanan, dan semua sah-sah saja dengan tujuan pemakainya masing-masing.

Satu hal yang membuat semuanya bergerak lebih cepat 'pandemi'. Semua elemen kehidupan mulai berbenah, dan mau tidak mau kita harus mengikuti tuntutan yang ada di depan mata 'berusaha' agar semuanya baik-baik saja.

Secara tidak langsung teknologi mengajarkan manusia bahwa ruang dan waktu bersifat tak terbatas. Hal ini dapat kita rasakan pergeseran berbagai bidang yang cukup signifikan, misalnya pasar tidak memerlukan lagi tempat khusus, karena sudah bergeser ke online shop. Pelayanan public seperti perbankan, Perpajakan, Listrik, Telekomunikasi, kependudukan, dan lain sebagainya mengalami pergeseran dari media kertas, yang harus dilakukan secara tatap muka beralih ke media online yang bisa diakses siapapun tanpa ribet. Begitu juga dengan pendidikan juga mengambil alih peran teknologi dalam pembelajaran jarak jauh tak terkecuali.

Bukan sesuatu yang mustahil jika teknologi masa depan akan datang lebih cepat menggantikan tenaga manusia diberbagai bidang dan berbagai keperluan. Pertanyaan yang muncul kemudian, "apakah masyarakat kita sudah siap dengan teknologi?, "apakah masyarakat kita paham literasi digital?" pertanyaan yang berkecamuk ini tentu menjadi Pekerjaan Rumah pemerintah khususnya para pegiat literasi di lapangan. Bukan tidak mungkin lompatan laju literasi dari literasi dasar baca-tulis yang diupayakan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan rangking literasi dunia, ke literasi digital yang jauh dipercepat oleh keadaan dari masanya justru akan menimbulkan masalah baru di lapangan.

Persoalan yang terjadi, sangat wajar ketika kita kurang terdidik dengan maraknya berita palsu, konten 'aneh' yang lekas viral, komentar 'pedas dan sarkas' para netizen, serta serangan mental kecanduan game online yang diperparah keadaan 'anak difasilitasi gawai' dengan alasan utama untuk sarana belajar.

Gejala sosial yang muncul dari serentetan masalah di atas merupakan data kekurangsiap-an kita dibidang literasi digital. Ada semacam euforia yang berlebihan dalam menggunakan teknologi cepat saji ini. 

Hal ini akan menjadi berbahaya ketika secara mental, pendidikan, maupun umur belum siap. Akhirnya masyarakat tergiring dengan pola hidup hedonisme, yakni mengambil jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu untuk mempercepat keinginan tanpa harus melibatkan rambu-rambu atau norma yang berlaku karena kesempatan terbuka seluas-luasnya melalui media ini.

Teknologi tidak dapat kita cegah, dan digitalisasi informasi adalah sesuatu yang harus kita kenali secara wajar. 

Satu hal yang tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam pendidikan "peran guru tidak dapat tergantikan teknologi, namun guru buta teknologi akan ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan". 

Perlahan tapi pasti, pandemic mengajarkan kita untuk berbenah, mempelajari apapun itu meski kadang kita dituntut terlalu cepat untuk memahami sesuatu yang semestinya belum waktunya. 

Literasi digital perlu pendampingan, saat ini masyarakat perlu edukasi, bukan sekadar jerat UU ITE yang barangkali sebagian besar masyarakat kita belum memahami alat yang digunakan sesuai keperluannya. Salam literasi, salam sehat untuk kita semua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun