Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Delusi

5 Oktober 2019   20:25 Diperbarui: 5 Oktober 2019   20:44 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Prolog 

Hanya sang pemberontak yang memiliki dunia di tempurung kepala. Ribuan ruang-ruang yang tercipta dari retasan ide-ide berdesakan. Hingga ia sulit mengenali dirinya, dunia yang telah membesarkannya. Pikirannya melesat persekian detik. Bercakap-cakap dengan dimensi lain yang dianggap lebih nyata ketimbang kaki yang berpijak di tanah merah. Tanah yang akan mengubur jasadnya bersama cacing-cacing segar di bawah kamboja putih. Ribuan microphone yang berasal dari otaknya membuat suaranya sendiri hilang,hingga menjadikan mulutnya bisu. Otaknya bicara, matanya bicara dan hatinya diselubungi dengan segala pemberontakan.

Babak 1

Pram                :"Ah, aku tak habis piker dengan orang-orang itu. Semuanya tampak bodoh. Semuanya sama, semuanya hanya tontonan dengan karakter jadi-jadian. Berdalih ilmiah dengan serentetan teori bak utusan dewa dari  Yunani berkamuflase menjadi peran-peran boneka."

                        "Herannya, semua orang percaya dan diam saja mendengar segala ocehannya itu."  

"Awalnya aku berharap besar dengan tema-tema besar sebuah perhelatan yang mampu mengubah peradaban yang sedang terjadi, ternyata hanya hembusan angin kentut yang hanya menguap dan bau."

 Pram membuka pembiacaraan di dalam mobil saat perjalanan pulang.

Rabets             :"Pram, sebaiknya kau ubah sedikit idealisme yang menurutku kebablasan itu. Kita ini hidup di alam realitas. Jika semua orang harus menyetandarkan pemikiran dan pemahamannya seperti dirimu. Mungkin tak ada satu pun di dunia ini bisa kau ajak bicara. Dunia bagimu kosong, karena kau terlampau mempercayai teori-teori yang kau baca."

Pram                :"Ah gombal, makanya tak usah lagi kau ajak aku di acara-acara seremonial itu. Saya paling nggak suka dengan segala hal yang membuatku makin bertanduk saja. Berkumpul dengan orang-orang kosong yang menanti dijejali ampas-ampas bekas tak bersantan. Ada saja yang memproklamirkan utusan-utusan dewa membuat aku makin tengik saja. Coba kau lihat, hebat dari mana mereka memandang dirinya, pengetahuannya hanya cetek. Apa tidak malu dengan semua gelar yang disandangnya? Itu sebabnya aku lebih percaya dengan buku-buku di rumahku daripada pidato-pidato gombal yang mereka ucapkan. cuih."

Rabets             :"Lalu apa yang akan kau perbuat dengan segala idealismemu itu, kau akan menarik diri? Karena semua orang kau anggap tidak becus, ha?"

Pram                :"Hahaha... entahlah, pikiranku terlalu banyak diisi triliunan kata yang meretas ide-ide itu. Hingga membuat aku tak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak hal di depan mata yang tak bisa kulukiskan. Dan ketika aku berusaha keluar ke dunia luar, justru membuatku makin tersiksa. Mereka semua hanya mampu mengungkapkan kulit luar sebuah teori basi. Kau tau saat di ruangan itu, kepalaku makin bertanduk. Ingin rasanya mengumpat dengan segala sumpah serapah."

Rabets             :"Kau yakin akan selamanya seperti itu, Pram? Kau tau risiko dengan tindakanmu yang arogan di ruangan tadi?"

Pram                :"Hahaha... kau menghawatirkanku Berts, kau piker aku menyesal? Tidak sama sekali. Tindakanku sudah benar, dan siapa saja yang menganggapku gila, aku juga tidak peduli. Aku hanya meyakini pikiranku. Terlalu dangkal jika semua orang harus percaya saja dengan segala sesuatu yang baru. Kau mau aku meyakini setiap omongan yang keluar dari utusan-utusan dewa itu? Memang siapa mereka. Sudah berapa banyak buku yang ia lahap setiap harinya? Sepuluh, dua puluh atau seratus? Hahaha...aku yakin mereka hanya bisa berkata di forum-forum palsu. Selebihnya mereka hanya berhalusinasi mempunya banyak karya dengan perencanaan-perencanaan hebat. Mereka tak lebih di stel oleh birokrasi."

"Kau yakin yang mereka ucapkan lahir dari pemikiran sendiri? Atau memaksakan untuk orang lain yang sebenarnya mereka tidak paham dengan segala omongannya.?"

"aku yakin sebelum mereka tampil, penuh mati-matian berlatih di depan cermin. Kamu tidak lihat apa, keringatnya besar-besar, seperti bulir jagung. Mereka tidak siap menghadapi kenyataan, apa kamu percaya apa yang dikatakan? Sedangkan mereka sendiri tidak yakin dengan apa yang mereka bawakan."

Rabetsa           :"kau yakin bisa berbuat lebih banyak dari mereka? Atau setidaknya kau bisa berbuat banyak dengan idealismemu itu?"

Pram                :"Setiap detik aku berbuat sesuatu untuk kepalaku, banyak hal yang kupikirkan hingga membuat kepalaku botak dan barangkali akan tumbuh beberapa cabang kepala baru.  Aku tak perlu membuat semua tahu tentang pikiran-pikaranku, rencana-rencanaku, dan aku bertemu dengan siapa saja setiap harinya. Aku terlalu nyaman dengan kesendirian bergelut dengan segala hal yang diutus dari tumpukan kertas."

"Ini rahasia, cukup kamu saja yang tahu. Ada dunia baru yang membuatku bias bercengkrama dengan orang-orang masa lampau, misalnya aku cukup jelas mendengarkan suara Arysio Santos atau suara-suara Plato. Asal kau juga tau, aku cukup bergairah dengan Pariyem tokoh yang ditulis Linus Suryadi pada prosa lirik itu".

Pram sedikit berbisik

Rabets             :"Dasar kau konyol, hanya manusia bebal yang menganggap demikian. Ingat Pram, kau berhalusinasi. Semua yang ada dipikiranmu hanya sebatas mengetahuan dari yang kau baca, tak lebih."

Raber seakan meyakinkan.

Pram                :"Kau membicarakanku Bets, hahaha. Seharusnya kau bersukur punya kawan seperti aku. Tak perlu kau yakini orang-orang yang belum kau kenal. Mengapa tak kau buka saja pikiranmu untukku. Aku akan membawamu pada dimensi yang lebih tinggi. Pikirkanlah itu. Kau yakin tak ingin mengenal Ophelia putri bangsawan yang menghabisi nyawanya sendiri daripada harus menikah dengan pangeran Hamlet?, seandainya aku bias meyakinkannya, mungkin Ophelia sudah dalam pelukanku saat ini."

Rabets           :"Dasar saraf."

Rabets memutar porseneling mobilnya berjalan lebih kencang sambil memutar tuts tape yang menyanyikan lagu romantis "malam terakhir"Roma irama.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun