Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Ada Runtu di Tanah Bumbu

2 Oktober 2019   14:49 Diperbarui: 2 Oktober 2019   14:55 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram.com/nikmah_husna

Sambal, kata kunci pelengkap makanan yang membuat sebagian orang bikin ketagihan. Pedas sudah pasti. Dibalik pedasnya, sambal akan selalu dicari sebagai pelengkap hidangan di meja makan. Percayakah anda, jika sambal akan berpengaruh terhadap tagihan nasi di bakul?. Ada lele, nila, ayam goreng, tapi sambel tidak ada. Oh, tidak. Tentu akan membuat selera makan berkurang, bukan. Pernahkah anda merasakan demikian?. Semua hanya karena sambal.

Teringat belasan tahun lalu tepatnya bulan Mei tahun 2003 aku menginjakan kaki kali pertama di bumi borneo. Bumi katulistiwa yang sebelumnya hanya kubaca dari pelajaran sekolah pun dari peta dunia. Perjalanan panjang yang kutempuh kala itu sekitar dua puluh jam menggunakan kapal laut dari Surabaya ke Batulicin.

Batulicin daerah yang kukenal saat itu, yang merupakan masih wilayah kabupaten Kotabaru. Jalan-jalan masih terlihat alami, lengang dan masih menggunakan aspal kasar. Ada genangan air hujan di sana-sini membuat pengguna jalan kala itu harus lebih sabar sedikit untuk sekadar menyalip (istilah mendahului) dan berdampingan karena ada beberapa genangan berdiameter kisaran lima bahkan sepuluh senti.

Rumah Acil (sebutan bibi) dari keluarga suami kebetulan terletak tidak jauh dari pelabuhan samudera yakni berseberangan dengan pusat perniagaan bersujud. Pusat niaga yang sekarang lebih dikenal dengan pasar minggu, kala itu belum permanen. 

Selain dekat dengan pelabuhan, pasar bersujud letaknya juga strategis yakni bersebelahan dengan terminal angkot jurusan Batulicin-Banjarmasin-Kandangan. Semua masih terlihat alami, seperti mata yang baru saja mengenal kekasih semasa sekolah, semua serba lugu.  

Perjalanan yang melelahkan beberapa waktu yang lalu akhirnya terbayar dengan berbagai pesona penduduk sekitar. Aku banyak mengenal berbagai kosa kata baru yang ternyata mempunyai rumpun bahasa dari suku yang berbeda. 

Seperti kata Acil, Julak, Daeng, banyu mati, koler, uyuh, bale rako, munasu, dan sebagainya. Kata-kata itu terdengar asing di telingaku karena memang aku terlahir dari suku jawa meskipun lahir di pulau Sumatera. istilahnya pujakesuma kawan-kawan kuliahku memberikan gelar padaku.

Kawin silang budaya membuatku makin tahu banyak tentang warna. Seperti pelangi tak akan indah jika hanya dominan satu corak. Merah, jingga, kuning, hijau, ungu seperti halnya bahasa, kuliner, adat istiadat, kebiasaan dan budaya. Itulah warna yang indah.

Selain bahasa, ada bebrapa kuliner yang menurutku tergolong unik dan menarik. Sebut saja mandai, makanan dari kulit cempedak (tiwadak). Hanya di borneo, saya mendapatkan citarasa kulit makanan yang gurih melebihi daging sapi dan sejenisnya. Mulai dari kulit, daging, hingga biji, cempedak mendapatkan tempat istimewa dihati penduduknya. Beberapa makanan siap menjamu lidah peraciknya mulai dari geguduh tiwadak, oseng mandai udang, dan sambal goreng biji tiwadak. Apakah anda mau mencoba?

Rasanya kurang afdol jika kita berbicara kuliner jika kita meninggalkan satu makanan pendamping yang fenomenal yakni sambal. Seperti yang saya singgung di atas. Ada salah satu sambal yang membuat saya ketagihan di Tanah Bumbu yakni sambal runtu.

Runtu (baca ronto) merupakan olahan dari permentasi udang kecil khas masyarakat Pagatan tepatnya masyarakat suku Bugis yang tinggal di Tanah Bumbu. Udang segar yang dicampur dengan nasi dan sedikit air serta garam didiamkan dalam satu toples tertutup selama satu minggu. 

Jumlah perendaman hari akan memengaruhi rasa yang akan disuguhkan saat diracik dalam membuat sambal. Runtu bertahan kurang lebih satu bulan dalam penyimpanan lemari pendingin (kulkas). semakin lama tingkat keasaman semakin keluar dan warnanya semakin matang (kuning kemerah-merahan).

Racikan sambal runtu tergantung selera keluarga, ada yang meraciknya dengan bumbu lengkap seperti lengkuas, jahe, kunyit, bawang merah, bawang putih, gula garam sedikit asam dan lombok rawit biji. 

Ada juga dengan selera pedas manis tanpa bumbu lengkap selayaknya orang menumis. Varian olahan ini sebagai bentuk sambal, menemani gangan umbut/gangan karuh (sayur keladi),pucuk gumbili bajarang (daun singkong rebus) gangan bening waluh karawila (sayur bening waluh dan gambas) bahkan juga sebagai teman gulai terung yang disajikan dengan nasi hangat. Rasanya itu loh, bikin ketagihan dijamin menghabiskan nasi sebakul. 

Anda mau coba sambel runtu? Ada runtu di Tanah Bumbu menunggumu diantara bagang-bagang. Anak udang berdendang riang menanti jala anak nelayan yang jadikan matahari penangkal dingin dan air laut mengembara seperti mimpinya yang dalam tersembunyi di balik biru kedalamannya. Selamat berlibur. Kenali budayanya, nikmati kulinernya, cintai rasanya dan tagihlah rindu setiap perjalananya. Salam.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun