Bagaimana caranya aku harus melukis dirimu. Sedangkan takdir sudah terukir jauh sebelum kau terlahir. Lihatlah guratan-guratan itu. Tergambar manis di jari-jari tanganmu. Meski seribu pisau melukainya. Takdir itu takan pernah merubahnya. Maya sayang, aku hanya seorang pelukis murahan. Mana mungkin aku dapat menggambar hatimu yang terlampau menjulang. Lihatlah tanah itu. Meski para ilmuan berpendapat bumi itu bulat tapi yang kita lihat datar adanya. Kedataran tanah itu dihiasi gunung, lembah juga lautan. Sesuatu yang di atasnya hanya fatamorgana manusia. Tak perlu kau ubah, tak perlu kau palsukan. Karena kepalsuan itu akan mencabik hatimu perlahan.
Untuk menjadi cantik itu keniscayaan. Tak ada yang perlu kau ubah demi sebuah pencitraan. Hidungmu terlalu manis untuk kau gadaikan dengan barang plastik murahan seperti ember-ember yang dijual keliling para asongan. Berjalanlah tegak menyusuri kakimu meski tak terlihat gemulai sekalipun. Karena gemulai itu sebuah alibi untuk menyembunyikan ketidak percayaan.
Kanvas ini hanya sebuah perantara melukiskan rasa yang diutus kuas majikannya. Karena jauh di atas semuanya sudah tergambar di antara langit ke tujuh. Mentari mengisi kekosongan yang terus berputar dan akhirnya senjalah yang akan menentukan pergantian di malam-malam gelap. Bulan juga terus menanti kapan gilirannya harus berunjuk gigi. Gemintang terus berselancar tak pernah henti. Meski kadang gulungan awan hitam memaksanya untuk sembunyi. Karena manusia terlampau hianat menekuni keindahan bintang dan mengeluarkan segala alibi. Bertindak layaknya Tuhan yang tahu segala hal memprediksi nasib seseorang. Itulah hidup, Maya, jauh di lubuk hati manusia semua ia gadaikan demi uang. Uang ditempatkan lebih tinggi dari Tuhan. Hingga manusia sering menjual ayat-ayatnya di jagat ini dengan harga yang murah. Jangan coba kau lukis hatimu dengan guratan yang memaksa darahmu menjadi tinta di atas kanvas takdirmu.
Tak ada yang perlu kau sesali. Semuanya berjalan dengan kedua kakinya. Tak perlu kau sambung langkahmu dengan kaki-kaki palsu atau roda-roda itu. Tulangmu cukup kuat untuk kau gunakan. Sebutir nasi mungkin terlihat kecil di matamu. Tapi apakah kau tahu, Mayaku, sederetan semut-semut itu begitu gagahnya memikul dengan segala kepayahannya. Bisa jadi semua yang tampak kecil itu teramat naïf untuk kau pandang tapi semua itu adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Jangan kau mengerang lagi, karena sudah cukup kau sudahi.
Tapi…!? sanggah Maya.
Tak perlu kau lanjutkan penggalan itu. Tapi atau tak, sama saja kau gantungkan langkahmu ke awan. Menjadi terkenal tak harus kau monyongkan bibirmu, juga ragamu memenuhi layar kaca. Itu bagian dari kepura-puraan. Kau akan tetap anggun menyuarakan langkahmu di atas tinta-tinta kertasmu. Meski kau sering tercampakkan di antara gulungan-gulungan penerbitan. Atau kertas-kertas itu akan terbuang menjadi bungkus nasi uduk di pasar kemayoran. Mengukirlah terus dengan tinta rasamu. Karena lembaran itu akan menceritakan hidupmu tanpa harus meminta pengakuan dari siapapun. Aku masih tetap di sini menekuni hatimu, Mayaku.
Menjadi terkenal itu sebuah pilihan. Tapi untuk menjadi bara di hatimu akan selalu kunomorsatukan. Berjuang di balik layar tak semua orang mau melakukannya, Sayang. Ini pilihanku dan kuharap kau menghargainya, Sayang. Mungkin ini membuatmu terlampau dramatis dan aku tahu kau sedikit kecewa. Kusauhkan segala keniscayaan. Tak perlu kau jadi bidadari di mata lelaki hidung belang yang menghargaimu karena rupa juga lenggokan. Matanya terus mengekori setiap inchi tubuhmu. Kau terlalu manis untuk dijamah mata-mata liar itu. Kau tetap bidadariku yang mengisi seluruh kanvas hatiku. Tahukah kau, hati ini cemburu, cukup kau goda aku saja semalam suntuk di kamar yang berdinding lukisan bibirmu. Lukisan-lukisan itu senantiasa memancarkan senja yang indah. Keemasan mentari yang kian menua menjemput rembulan malam dengan pergantian setiap mata rindu memandangnya.
Maya, tataplah mata ini dengan segala kekhusukanmu. Tanggalkan semua nafsu yang mengotori hati dan kelaminmu. Di kejauhan sana kau akan temukan cinta yang tak diragukan. Buanglah mimpimu untuk mengubah takdir dengan menghilangkan jejakNya di wajahmu. Menjadi model iklan atau di atas catwalk sungguh kurisaukan itu.
“Entahlah…!?” Maya masih ragu.
Tidak cukupkah kata tapi yang kau gaungkan? Mengapa ada kata entah seakan kau ragukan takdir itu! Apa yang membuatmu tak yakin dengan keperempuananmu. Lukisan itu amat jelas tak perlu kau ragukan lagi. Atau kau juga masih meragukan kelaminmu, Sayang? Dan mengubahnya dengan dua atau tiga kelamin sekaligus? Jangan berlindung dari kepalsuan untuk mendapatkan kesohoran itu. Aku lelakimu yang tahu setiap jengkal tubuhmu. Kau wanita sempurna. Atau barangkali kau akan menikung senja dengan pergantian pagi? Kau gadaikan cintaku demi sebuah alibi?
“Cukup!?”Maya terpancing emosi.
Tak perlu kau marah, Mayaku. Terlalu dangkal kau tafsirkan permainan itu. Lihatlah seorang bocah kecil berkaleng bekas menabuhkannya bertalu-talu. Ia susuri aspal panas ibukota. Nyalinya tak pernah surut. Dia yakin recehan itu akan singgah satu dua keping setiap harinya. Tak pernah ia gadaikan mimpinya itu dengan permainan lego. Lagu yang dia nyanyikan bukan lagu bajakan milik para pesohor juga musiknya itu, ia rangkai dari rasa yang menjadi ibu peri penolongnya. Di tengah hari tiba, sebutir nasi pun akan ia nikmati meski tak berlauk daging pun pizza seperti anak gedongan.
“Aku kalah!?” Maya seakan menyerah.
Tidak, kau tak pernah kalah karena permainan itu baru saja kau akhiri. Ini babak baru saatnya kau ubah polamu memandang lukisan senja ini.
***
Lelaki entah harus kusebut apa dirimu, kau adalah warna yang melukis keindahan senja itu. Kusematkan janjimu yang bergaung di antara bayangan takdir tempo hari menerorku. Kini kutahu kau benar-benar pelukis andalan. Nalurimu tajam setajam guratan yang kau ceritakan di atas kanvas-kanvas hitam.
Kupandangi guratan-guratan lukisanmu di galeri kecil itu. Semua tampak jujur. Aku berharap lukisanmu itu menjadi takdirku di atas langit-langit biru.
Kau pelukis waktu yang hadir menemani sore terindah di antara sunset cintaku. Lukisan itu benar-benar nyata. Kau dan aku penghias cakrawala menyambut gemintang malam ini. “Dave, kau lelakiku pelukis senja itu.” Mata Maya berbinar menggenggam jemari seniman jalanan ibu kota itu.
Mia ismed, Tanah Bumbu, 08 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H