Memikirkan Ulang Makna Demokrasi Sambil Mangamati Pilpres
Dengan mencoba melepaskan pengetahuan dan pemahaman atas demokrasi yang saya miliki - saya mencoba menemukan makna demokrasi yang saya tafsirkan kembali sebagai “mekanisme menentukan pengelola negara yang memahami, berkehendak dan mampu melaksanakan kehendak masyarakat untuk kebaikan bersama”. Pengelola negara tentunya bukan hanya presiden, wakil presiden dan para menterinya, melainkan juga wakil-wakil rakyat, pengelola hukum dan lembaga-lembaga penting lainnya yang mempengaruhi pengelolaan negara.
Pengembaraan tersebut mengantarkan saya pada peran rokhaniawan, ilmuwan, tokoh masyarakat, budayawan atau seniman yang tenyata mampu mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memberikan suaranya secara signifikan. Pertunjukan keberpihakan mereka tenyata merugikan – baik untuk kredibilitasnya di kemudian hari, maupun pengaruhnya terhadap akal-sehat masyarakat. Kharisma dan popularitas mereka mengurangi penggunaan akal sehat melalui transformasi kharisma dan “kekaguman” menjadi keyakinan.
Ketika sebagian rokhaniawan mendukung suatu kubu dan sebagian lainnya mendukung kubu lainnya, munculah “fanatisme” yang hanya didasarkan pada keyakinan, dan kalau boleh disebut: “minus pertimbangan akal sehat”. Sisanya terbawa sebagai keraguan tehadap pendapat atau fatwa rokhaniawan/ilmuwan/budayawan selanjutnya. Masyarakat akan meragukan apakah pendapatnya akan obyektif di kemudian hari atau dipengaruhi oleh hal-hal lainnya. Sedikit-semi sedikit, wibawa rokhaniawan dan ilmuwan – yang diandalkan kearifan dan obyektifitasnya – tergerus oleh “demam pemilu”. Bahaya besanya adalah hilangnya peran mereka sebagai inspirator, pemberi peringatan dan penasehat bagi masyarakat. Pada pemilihan presiden kali ini, pengaruh tersebut diperburuk dengan praktek-praktek kampanye yang menghalalkan “black campaign” dan “negative campaign” atau - dalam bahasa sedehana - berupa informasi tendensius bahkan ftnah. Rokhaniawan, ilmuwan dan budayawan tampaknya turut terpengaruh meski pernyataan ini tentu akan disangkal keras.
Jika dikaitkan dengan pilihan “para pendiri negara ini” atas bentuk dan mekanisme demokrasi - pancasila, terjawablah maksudnya.
Sistem kabinet yang dipilih para pendiri negara ini adalah kabinet presidentil, dengan harapan para menteri dan bawahan presiden lainnya diisi oleh mereka yang kompeten (teknokrat) tanpa dipengaruhi oleh “transaksi politik” atau pertimbangan lain yang tidak relevan dengan kebutuhan kompetensi sesuai tugas dan tanggung-jawabnya. Pemahaman mengenai hal ini membawa saya pada penghargaan pada Jokowi dan Jusuf Kalla yang menunjukkan usahanya untuk “mengurangi dampak koalisi” – yang tepaksa dilakukan sesuai slogan “koalisi tanpa syarat”.
Di sisi lain, saya memberikan “penghargaan pada Prabowo Subiyanto” (Hatta tidak menunjukkan pendapat yang jelas) karena telah “berani mengungkapkan ketidak setujuannya dengan pemilihan langsung pesiden dan wakil presiden”. Ada sedikit guyonan yang ternyata patut dipikirkan: “kalau demokrasi itu mengandalkan suara terbanyak, maka pemimpinyang terrpilih pastilah yang mendukung kepentingan pemilik suara terbanyak”. Bahasa sarkastiknya adalah “kalau suatu negara dipenuhi maling, maka pemimpinnya sekurang-kurangnya tidak menganggu maling”.
Makna yang perlu kita tangkap adalah bahwa tidak selalu suara tebanyak tesebut berati kebaikan bagi masyarakat tetentu. Sejarah pada nabi menunjukkan bahwa hal-hal yang baik tidak selalu sesuai dengan suara masyarakat pada umumnya.
Pemahaman mengenai hal tersebut akan membuat kita - paling kurang – memaklumi mengapa UUD45 tidak mencantumkan pemilihan langsung melainkan melalui para wakil rakyat yang terpilih ditambah dengan “orang-orang baik” sehingga distorsi pemahaman mengenai apa yang baik bagi masyaakat (jika ada) tereliminasi oleh “orang-oang baik, arif dan berilmu” itu.
Permasalahan yang belum terselesaikan (karena dimanfaatkan orde baru) adalah menentukan mekanisme yang mampu memastikan bahwa para wakil rakyat plus rokhaniawan, ilmuwan dan budayawan “yang menjadi tambahan di MPR benar-benar diisi oleh orang-oang baik, arif, berilmu, tidak memihak dan bersih niatnya”. Sayang hal itu tidak elevan lagi karena amandemen UUD45 memilih cara lain (more liberal way).
Saya pribadi tetap menyetujui pemilihan langsung presiden dan wakilnya tapi tidak setuju untuk Kepala Daerah karena ongkosnya mahal dan pengaturannya masih mengganggu peluang presiden dalam mengatur pengelolaan daerah.