Mohon tunggu...
Muslim muliadi
Muslim muliadi Mohon Tunggu... Lainnya - Hidupmu adalah dimana perhatianmu tertuju

Menunduklah ; Sejenak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasib Terbaik adalah Bangun

9 September 2023   00:23 Diperbarui: 9 September 2023   00:55 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari tepat di pinggir jalan ...

"Benar, bahwa yang sementara kita upayakan hari ini belum tentu berhasil seperti yang sering kamu sampaikan, tapi setidaknya kita berbuat, biarlah menjadi catatan dalam kitab kehidupan kita kelak, bahwa ada tangis dan jerih payah kita dalam mengupayakan ini semua".

Lelaki itu sedang duduk di pinggir jalan sambil mengetik ponselnya, kelihatan dari raut mukanya bahwa ada yang sedang mengganggu pikirannya. Model rambutnya yang belah tengah, mulai tidak serapi biasanya, debu -- debu jalananpun berlomba mendatangi kulit wajahnya. Resiko berada dipusat kota industry yang ramai, asap dan debu pabrik menyelimuti kota setiap waktu.

"Tapi, apa yang kita lakukan selama ini, seolah -- olah tidak berguna. Bahkan sebagian dari kawan -- kawan kita telah berpaling dari perjuangan, yang dulunya bersuara lantang kini malah diam dan sibuk bekerja, sementara kita...."

Awal menghela nafasnya, berusaha menenangkan diri sejenak.

Awal, adalah seorang pekerja pabrik yang aktif mengadvokasi kebijakan -- kebijakan perusahaan yang seringkali menindas hak -- hak pekerja, seperti PHK sepihak, End kontrak pekerja dan potongan upah yang dilakukan oleh perusahaan.  Dia telah bekerja di pabrik selama 4 tahun, dan selama itu pula hidupnya dia abdikan untuk kepentingan para pekerja. Sebentar lagi dia akan menikah, bersama kekasihnya yang merupakan kawan seperjuangannya.

Nampak diwajahnya keletihan dan matanya yang terluka oleh kelelahan, namun dihatinya masih ada setitik semangat untuk berjuang. Sementara, diseberang sana,  kekasih hatinya nampak mulai menyerah, itu terbaca pada pesan ponsel yang sejak semalam hingga sore ini dia kirimkan ke Awal.

Awal kembali mencoba mengetik di ponselnya,

"Bersabarlah, sebab memang beginilah konsekwensi perjuangan kita. Di antara puluhan ribu pekerja, hanya sedikit memang yang akan menempuh jalan seperti ini. Di hadapan kita ada tembok yang kokoh, saya paham itu, merobohkannya saja akan sangat sulit, apalagi mau melewatinya, tapi sekali lagi saya sampaikan, kita tidak boleh menyerah, minimal kita sebagai pemantik dari puluhan ribu kawan kita yang  diam itu"

"sebaiknya nanti malam kita bertemu dan membicarakan soal ini", begitu pesan yang tertulis di inbox HP awal.

Malam hari di sebuah cafee kecil sudut kota...

"Kita tidak boleh meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini, bukankah menjadi tanggungjawab kita untuk membela mereka, harapan mereka hanya pada kita, mereka punya keluarga dan anak kecil yang mesti dihidupi, perusahaan sudah melakukan PHK sepihak, selalunya dengan dalih melanggar ketentuan yang mereka buat sendiri, ini tidak boleh dibiarkan, kita terus maju"

Dengan semangat membara, Awal terus meyakinkan Risti, kekasihnya yang kini sudah mulai perlahan menyerah untuk melawan, baginya apa yang dia perjuangkan selama ini hanyalah sia sia belaka. Itu bermula dari banyaknya kawan kawan mereka yang kini seolah -- olah menjauh dari gerakan yang mereka bangun, semua kini sibuk dengan pekerjaan mereka dan tidak mau lagi ikut bergabung  ketika ada kegiatan pembelaan terhadap pekerja.

"Kita juga harus bersikap realistis, kita tidak akan bisa melakukan apapun jika hanya sendiri saja. Kita terlalu lemah, bukankah seharusnya gerakan pekerja itu basis besarnya adalah massa, sekarang apa yang kita punya selain semangat, saya kira itu tidak ada gunanya".

"Semangat itulah yang akan membangunkan mereka yang sedang tertidur, ini harus tetap berlanjut, apapun konsekwensinya, saya tidak akan pernah mundur walau selangkah. Bukankah pejuang memang dilahirkan untuk menderita, mereka yang meninggalkan temannya dalam perjuangan adalah sampah"

Semakin larut, pertentangan antara mereka berdua semakin sengit. Risti, sudah mengalami banyak tantangan dalam perjuangan pekerja, dia ingin mengakhiri keterlibatannya dalam gerakan itu sebab dia menganggap bahwa apa yang dia perjuangkan selama ini akan sia -- sia, sementara Awal masih tetap pada pendiriannya. Dia percaya bahwa perubahan akan datang, apa yang dia perjuangkan akan berbuah manis dan akan memantik para pekerja untuk bergabung dalam barisan juangnya, dia tidak ingin menyerah sekarang.

"Sebentar lagi kita akan menikah, dalam membangun keluarga kita tidak mesti sangat idealis hingga tidak memperhatikan nasib kita kedepannya, ada hal yang mesti kamu pikirkan, apa jadinya kelak jika kamu mengalami nasib buruk karena terlalu melawan, ingat yang kamu hadapi ini berbeda dengan apa yang kamu hadapi saat mahasiswa dulu, ini korporasi besar yang juga melibatkan petinggi Negara termasuk aparatur Negara. Nasib terbaik adalah ditangkap, dikurung dan disiksa, dan paling buruk kamu bisa mati".

Ucap risti dengan nada yang mulai meninggi, sementara Awal diam mencoba bersikap tenang. Dia tidak ingin mengatakan apapun lagi, sebab apapun yang dia katakan pasti tidak akan diterima sebagai alasan yang tepat. Namun dalam lubuk hatinya, perjuangan mesti terus berlanjut, dia akan siap menerima apapun sebagai konsekwensi dalam perjuangan. Darah dan nadinya dia persembahkan untuk jalan juang yang dia yakini.

Karena awal terus saja diam dan tidak ingin bicara lagi, risti pergi meninggalkan dia sendiri. Batin awal mengatakan bahwa mungkin ini adalah salah satu pengorbanan besar yang harus dia lakukan, melepaskan risti, termasuk membiarkan rencana pernikahannya batal. Dia terus merenung seorang diri dan mencoba mengendalikan perasaannya, baginya, nasib para pekerja yang sementara dia bela menjadi tanggungjawab sosialnya yang harus dia selesaikan.

Risti terus berjalan meninggalkan Awal, kini perasaannya kosong, dia berurai air mata, dan terus berjalan melewati lorong kecil menuju jalan besar. Hingga akhirnya dia sampai di penghujung jalan dan bertemu dengan salah satu kawan seperjuangannya dulu yang kini mulai menjauh dan tidak ingin bergabung bersamanya lagi. Di tangannya menggenggam sebilah pisau tajam, dan tiba -- tiba berlari menghampiri Risti dan menusukkan pisaunya tepat menghujam hati risti, darah kini muncrat dan membasahi jalanan, seketika kemudian,

Risti terbangun dalam tidurnya, dan mulai sadar, bahwa dia sedang bermimpi....

...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun