Mohon tunggu...
mhsantosa
mhsantosa Mohon Tunggu... Penulis - Belajar sepanjang hayat...

Belajar sepanjang hayat...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bu, Beli Rokok yang Ngga Gambar Serem, Ya?

12 Agustus 2014   16:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:45 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya dengar kalimat itu ketika seseorang berbincang dengan ibu saya yang yang berjualan di warung kecil di depan rumah.

“Bu, beli rokok,” katanya.

Rokok apa, Marl**** ya? Kata ibu saya seraya menyebut merk rokok terkenal impor luar.

“Bukan, Bu. Rokok ini saja,” ia menunjuk salah satu merk produksi dalam negeri.

Kemudian, ia lanjut berkata, “Kalau yang ini, takut. Gambarnya serem.”

Saya dengar ibu terkekeh sambil mengiyakan.

Percakapan tadi sebenarnya sederhana, yang saya tak sengaja dengar ketika sedang mereview calon artikel. Namun, menjadi menarik ketika seseorang tetap berprilaku ‘denial'; pengingkaran. Saya tahu menaruh gambar-gambar akibat rokok (yang disebut seram tadi) baru diadakan oleh Pemerintah Indonesia, meski negara-negara lain, misal Australia sudah lama. Bagi saya, pemberian gambar itu inisiatif bagus. Bahkan wajib. Ada gambar gigi rusak, bagian tubuh hilang, hati hitam, dan seterusnya. Akibat nikotin dan merokok secara umum sudah jelas, sehingga harus dicegah sedini mungkin.

Di keluarga kami, hanya ayah yang merokok. Itupun dulu. Kakak perempuan (di budaya Indonesia tak lazim untuk perempuan merokok, meski mulai ada) atau adik laki-laki saya tak merokok. Kami selalu mengingatkan ayah akan bahaya rokok. Syukurlah, ayah bisa selesai.

Saya yakin kita semua paham bahwa isu ini tetap terjadi karena beberapa hal:

Pertama: Produksi Masif. Ini hubungannya dengan masalah kesejahteraan. Jumlah penduduk yang terlalu banyak dengan kesenjangan tinggi menyebabkan tenaga kerja harus terserap di pabrik-pabrik seperti pabrik rokok. Upah juga murah. Jika pabrik ditutup, mau dibawa kemana mereka yang jumlahnya ratusan ribu itu

Kedua: Sumber Pajak. Tak dipungkiri, tembakau dan rokok bisa jadi sumber pajak besar negara. Jika dikurangi atau dihilangkan, akan menjadi kehilangan besar.

Ketiga: Banyak Perokok Aktif. Merokok merupakan kegiatan keren bagi sebagian orang. Di jaman sekolahan, banyak teman yang merasa keren atau ‘laki’ jika merokok. Dianggap simbol jantan, meski tak semua pemberani. Selain ini, rokok jadi sarana relaksasi bahkan pelampiasan tekanan. Banyak yang merasa rileks ketika merokok. Atau merasa bisa lepas dari masalah yang ada.

Keempat: Harga Murah. Dibanding harga rokok di tempat lain, harga rokok di Indonesia cukup murah. Pengalaman saya di Australia, harga rokok berkisar $12 – $20 atau sekitar Rp. 120 ribu – Rp. 200 ribu. Cukup mahal, bukan? Sehingga sering dulu ketika pulang ke Indonesia, saya dititipi kawan untuk membeli rokok. Dengan uang sekitar $20, kita bisa mendapat hampir 1 bal rokok. Tapi ini dulu, sejak ada aturan baru tentang jumlah rokok maksimal yang bisa dibawa masuk ke Australia, orang tak mudah lagi membawa dengan jumlah banyak. Jika nakal, hukuman berat menanti. Hukum di negara seperti Australia tidaklah cenderung bisa dimainkan, seperti umumnya di Indonesia. Berani?

Dan banyak lagi.

Terkait nomor 4 di atas, hal ini sama menariknya ketika kemudian banyak rokok ilegal disusupkan, dan bisa dibeli dengan harga lebih murah. Di Melbourne, saya menemukannya. Saya kemudian menulis pengalaman diminta untuk membelikan rokok ilegal di Melbourne di tautan ini.

Bagi saya, hal ini menarik. Bagaimana seseorang tetap merokok meski ia sadar bahayanya. Seperti yang ia lihat di salah satu gambar bungkus rokok tadi. Pengingkaran. Ya, percakapan diatas tadi menurut saya adalah pengingkaran. Ingkar akan bukti jelas di gambar, cenderung berpikir permisif bahkan abai. “Ah tidak apa-apa.” Sekarang, memang iya. Tapi jika akumulatif, wah tak terbayangkan.

Jika di kampus Melbourne University dan La Trobe University, Australia sudah terlarang untuk merokok, perokok Indonesia masih dengan santainya merokok di tempat-tempat umum atau dekat orang tak merokok, termasuk bayi dan anak kecil. Kesadaran minim, perilaku kampungan ketika ditegur dan peran pemerintah jadi sebab. Karena belum sesuai harapan penduduk global, maka jangan ragu menegur perokok tak paham sikon terutama jika kita tak ingin diri atau orang lain, termasuk bayi dan anak kecil terkena akibat merokok pasif.

Tulisan ini juga dimuat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun