Saya dengar kalimat itu ketika seseorang berbincang dengan ibu saya yang yang berjualan di warung kecil di depan rumah.
“Bu, beli rokok,” katanya.
“Rokok apa, Marl**** ya? Kata ibu saya seraya menyebut merk rokok terkenal impor luar.
“Bukan, Bu. Rokok ini saja,” ia menunjuk salah satu merk produksi dalam negeri.
Kemudian, ia lanjut berkata, “Kalau yang ini, takut. Gambarnya serem.”
Saya dengar ibu terkekeh sambil mengiyakan.
Percakapan tadi sebenarnya sederhana, yang saya tak sengaja dengar ketika sedang mereview calon artikel. Namun, menjadi menarik ketika seseorang tetap berprilaku ‘denial'; pengingkaran. Saya tahu menaruh gambar-gambar akibat rokok (yang disebut seram tadi) baru diadakan oleh Pemerintah Indonesia, meski negara-negara lain, misal Australia sudah lama. Bagi saya, pemberian gambar itu inisiatif bagus. Bahkan wajib. Ada gambar gigi rusak, bagian tubuh hilang, hati hitam, dan seterusnya. Akibat nikotin dan merokok secara umum sudah jelas, sehingga harus dicegah sedini mungkin.
Di keluarga kami, hanya ayah yang merokok. Itupun dulu. Kakak perempuan (di budaya Indonesia tak lazim untuk perempuan merokok, meski mulai ada) atau adik laki-laki saya tak merokok. Kami selalu mengingatkan ayah akan bahaya rokok. Syukurlah, ayah bisa selesai.
Saya yakin kita semua paham bahwa isu ini tetap terjadi karena beberapa hal:
Pertama: Produksi Masif. Ini hubungannya dengan masalah kesejahteraan. Jumlah penduduk yang terlalu banyak dengan kesenjangan tinggi menyebabkan tenaga kerja harus terserap di pabrik-pabrik seperti pabrik rokok. Upah juga murah. Jika pabrik ditutup, mau dibawa kemana mereka yang jumlahnya ratusan ribu itu