Salah satu parameter demokrasi berjalan relatif sehat adalah kesediaan para kandidat dan pendukungnya berkenan menerima hasil apapun. Ada keikhlasan terutama bagi yang kalah menerima kekalahannya. Demikian pula yang menang tidak serta merta merasa hebat. Kata pepatah Jawa, yang menang tidak jumawa, yang kalah tidak nelangsa.
Kesediaan menerima ini sudah tentu bila proses sebut saja –Pilkada seperti yang terjadi belum lama ini di 101 daerah- telah berjalan sesuai perundang-undangan. Masyarakat pemilih, baik yang aktif menjadi relawan maupun yang tidak menjadi bagian dari Tim kampanya kandidat, telah mengawal seluruh proses dari sejak awal sampai perhitungan suara.
Tidak ada pelanggaran berarti, berlangsung tertib, jujur, adil dan rahasia. Bahkan jika ternyata ada pelanggaranpun proses hukum ditegakkan sehingga seluruh kandidat merasa diperlukan adil.
Seandainya muncul ketakpuasan dari salah satu kandidat, jalan yang ditempuh melalui proses hukum seperti menyampaikan keberatan pada Mahkamah Konstitusi. Dan apapun keputusan Mahkamah Konstitusi diterima secara lapang dada baik oleh kandidat maupun para pendukungnya.
Putusan final Mahkamah Konstitusi menjadi tahapan akhir Pilkada. Masyarakat kemudian kembali dalam kehidupan normal. Yang sebelumnya sempat sedikit “tegang” kembali menikmati persaudaraan, pertemanan dan lainnya. Semua kembali bersatu dalam kepemimpinan terpilih, yang menjadi pimpinan seluruh masyarakat tanpa lagi ada skat-skat perbedaan pilihan.
Lantas apa yang perlu dilakukan pasca kepala daerah dan wakil terpilh dilantik? Tidak hanya keharusan bagi pemimpin terpilih melayani seluruh masyarakat tanpa pandang bulu. Siapapun, terutama yang merasa tak memilihnya bersedia menerima kepemimpinan terpilih. Memberikan kesempatan kepada pimpinan terpilih menjalankan amanah sesuai perundang-undangan.
Era pasca pemilihan dalam masyarakat yang sudah menjalankan demokrasi dengan baik terpapar kesediaan sepenuhnya menerima kepemimpinan terpilih. Masyarakat tidak lagi terpenjara perbedaan pada saat berlangsung proses pemilihan. Semua komponen masyarakat ikhlas memberikan kesempatan. Move on, dari moment pemilihan, kata istilah anak muda sekarang.
Tentu saja keikhlasan memilih tidak meninggalkan tanggungjawab pengawasan. Keikhlasan menerima justru “wajib” diikuti partisipasi aktif mengawasi kepemimpinan terpilih agar senantiasa berada dalam koridor perundang-undangan. Siapapun, baik yang memilih maupun yang tidak memilih pemimpin baru secara moral berkewajiban mengawasi kinerjanya.
Di sinilah urgensi demokrasi yang sering dilupakan yaitu mengawasi kinerja pemimpin terpilih. Sering masyarakat hanya sibuk dalam proses pemilihan lalu melupakan keharusan mengawasi kinerja kepimpinan terpilih. Padahal mengawasi pasca pemilihan, ketika pemimpin telah terpilih tidak kalah penting. Keberhasilan sebagai pemimpin dalam menentukan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat ditentukan pula dari efektivitas pengawasan masyarakat, terutama lembaga formal seperti DPR di tingkat pusat, maupun DPRD di tingkat I dan tingkat II.
Tidak mudah melaksanakan aktivitas yang terkesan sepele ini. Bagi pemilih kadang merebak ketakpedulian sehingga kurang sungguh-sungguh mengawasi kinerja pemimpin terpilih. Yang merasa tidak memilih mudah pula terjebak subyektivitas bernuansa perbedaan pilihan sehingga pengawasan, kritik kurang obyektif; cenderung sekedar mencari-cari kesalahan.
Pasca pemilihan, ketika pemimpin terpilih mulai menjalankan tugas, seluruh masyarakat baik pemilih maupun yang tidak memilihnya jika demokrasi ingin berkembang lebih baik lagi perlu ditumbuhkan sikap obyektif dalam wujud kesediaan memberikan kesempatan bekerja tanpa mengurangi semangat pengawasan obyektif. Begitulah demokrasi jika ingin memberikan manfaat optimal bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H