Balumbang Jaya, Bogor - Hampir setahun berlalu, sejak meninggalkan Desa Melinggih Kelod, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Ya, waktu itu, saya dan tim “Tegallalang-Payangan” sedang menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendamping desa atau supervisor sosial pada program Data Desa Presisi (DDP) Institut Pertanian Bogor. Bagi saya, hal ini adalah pengalaman perdana saya terlibat dalam program DDP.
Banyak cerita dan pembelajaran menarik selama di Bali umumnya dan Desa Melinggih Kelod khususnya, baik dari dimensi sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan maupun ekologi, yang semuanya masih tersimpan rapi dalam memori ingatan saya. Sungguh sebuah perjalanan pembelajaran yang sangat berkesan dan luar biasa.
***
Salah satu cerita menarik yang masih teringat adalah suguhan “secangkir kopi” panas—dengan kopi setengah gelas—yang saya dapatkan, setiap berkunjung ke rumah-rumah warga dan kantor Desa (mungkin hampir semua daerah akan melakukan hal yang sama yaa, tetapi pengalaman saya selama berada di luar daerah, Bali punya nuansa dan magnet yang berbeda sih). Lanjut!
Maklum saja, sejak berada di Desa Melinggih Kelod, saya hampir setiap hari berada di Desa—untuk mendampingi dan membantu enumerator atau pengambil data lapangan—dan tak jarang ikut berkantor di Kantor Desa. Mungkin saja semua perangkat desa Melinggih Kelod dan penjaga kantin desa mengenal sekaligus bosan melihat saya karena keseringan muncul hehe!
Tiap kali berkunjung, kopi panas khas Bali selalu disajikan kepada saya. Hingga suatu ketika, pada saat mendampingi salah satu enumerator. Sudah hampir dua jam lamanya kami duduk memberikan pertanyaan, kopi yang biasanya saya terima tak kunjung dibuat. Karena gelisah dan merasa ngantuk, saya pun keceplosan berkata “duh, sepertinya bagus kalau ada kopi ini Pak siang-siang,” sambil tertawa hehe.
Mungkin karena repleks, lalu Bapak yang sedang diwawancarai bergegas masuk ke dapurnya untuk membuat kopi—padahal waktu itu sesi wawancara belum selesai oleh enumerator hehe...!
Tak lama setelah itu, Bapak enumerator yang saya dampingi waktu itu berbisik, “Za, kamu ini (sambil tertawa), tidak enak saya, jangan begitu”. Saya pun hanya tersenyum, dan saat Bapak respondennya datang—dengan membawa 3 gelas kopi, saya pun langsung berkata, “Pak, mohon maaf, saya tadi hanya bercanda (sambil tersenyum dalam hati),”.
Setelah semua pertanyaan selesai, kami pun pamit pulang, dan bergeser ke warung kakak Bapak enumerator. Ketika duduk di warung, beliau pun tidak menyangka jika saya akan berkata seperti itu (sambil tertawa terbahak-bahak).