Menurut Dako (2012), tujuan utama pembangunan hutan rakyat adalah: (1) meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari, (2) membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat, (3) membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku industri serta kayu bakar, (4) meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya, dan (5) memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Hutan rakyat mempunyai peran penting bagi kehidupan masyarakat pedesaan meliputi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan (Anatika et al. 2019). Keberadaan hutan rakyat sangat esensial sebagai penopang pertanian desa, penyangga ekosistem, penjaga stabilitas ekologi dan pengatur tata air wilayah (Arupa 2002).
Sejauh ini masyarakat lebih banyak mengembangkan hutan rakyat dengan pola tanam campuran karena sempitnya lahan yang dimiliki. Hardjanto (2000) mengungkapkan bahwa rata-rata pemilikan lahan di Jawa sempit sehingga mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan lahan dengan sebaik mungkin. Pada sisi lain, petani juga memiliki kendala dalam permodalan serta teknologi pemanenan dan pasca panen (Darusman dan Wijayanto, 2007).
Perkembangan usahatani di hutan rakyat saat ini membantu masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, usahatani hutan rakyat terus mengalami perkembangan dan permintaan yang besar seiring dengan pertumbuhan industri pengolah kayu di setiap wilayah. Hardjanto (2003) menguraikan bahwa kemajuan teknologi industri pengolahan kayu pada awal tahun 1980 berupa chainsaw dan sawnill mempunyai peran penting dalam meningkatkan kebutuhan bahan baku kayu di hutan rakyat. Lebih lanjut, Hardjanto (2003) menjelaskan bahwa mulai tahun 1980-an berkembang hutan rakyat swadaya yang dibangun oleh masyarakat sendiri.
Sistem usahatani hutan rakyat merupakan pengelolaan dengan melibatkan banyak pihak terkait dan kompleks sehingga sistem pengembangannya menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem yaitu dengan menggabungkan unsur-unsur yang berkaitan dan mengenali kebutuhan sistem tersebut.Â
Hasil penelitian Hardjanto (2017) mengungkapkan bahwa usaha hutan rakyat, meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan dari petani kepada konsumennya. Keseluruhan kegiatan tersebut pada prinsipnya merupakan sub-sub sistem dari sistem usaha hutan rakyat yang dipandang memiliki tujuan khususnya meningkatkan pendapatan petani dan penggerak kegiatan-kegiatan lain yang memiliki hubungan baik ke balakang maupun ke depan.
Sejalan dengan itu, Bashar (1964) dalam Hardjanto (2017), usaha hutan rakyat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani, disamping itu beberapa manfaat lain yang dihasilkan dalam pengusahaan hutan rakyat yakni: (a) kayu dan hasil hutan lainnya, (b) pengawetan tanah dan air, (c) perlindungan tanaman-tanaman pertanian, dan (d) perlindungan binatang liar. Meski demikian, keberhasilan usaha ini dipengaruhi oleh intensitas pengelolaan, kesesuaian tempat tumbuh, kualitas bibit yang ditanam dan kondisi pasar kayu rakyat (Puspitojati et al. 2014).
Pengelolaan hutan rakyat berpedoman kepada undang-udang nomor 41 Tahun 199, terdiri dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam.
Secara finansial hutan rakyat memiliki pola tanam yang sangat beragam. Namun demikian sebagian besar hutan rakyat yang ada di lapangan pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yakni campuran antara tanaman pangan dan tanaman kayu-kayuan. Keuntungan pola ini adalah: (1) adanya pembagian resiko (kegagalan satu jenis terganti oleh jenis lain), (2) peningkatan frekuensi/intensitas pemungutan hasil, sehingga pendapatan meningkat, (3) menjamin stabilitas biologis dan memperbaiki kesuburan tanah dan lingkungan, (4) efisiensi penggunaan faktor produksi (Dako, 2012).
Empat Sub Sistem Hutan Rakyat
Berdasarkan bentuknya, hutan rakyat terbadi menjadi dua yakni hutan rakyat tradisional dan hutan rakyat inpres. Menurut Institut Pertanian Bogor (1983) dalam Hardjanto (2017), membagi dua pola hutan rakyat, yaitu hutan rakyat tradisional atau cara penanaman tanaman hutan pada tanah milik (lahan kering) yang diusahakan oleh masyarakat, dan hutan rakyat inpres atau penanamannya murni dilakukan di lahan marjinal.