lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Bogor, Jawa Barat - Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hal tersebut disebabkan hutan bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia (Salim, 2002). Mando et al., (2020) mendefinisikan hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekonomi, ekologi, maupun sosial-budaya secara dinamis dan harmonis. Secara konsepsional yuridis dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 hutan didefiniskan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alamSebagai bagian dari sumberdaya alam nasional, hutan memiliki arti dan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, dan pembangunan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang sampai hari masih diburuhkan keberadaaanya. Tidak hanya berperan terhadap pembangunan nasional, hutan juga berperan sangat penting dalam siklus kehidupan global, sehingga perlu diperkuat dan dipertahankan dari berbagai kegiatan yang akan berdampak terhadap rusaknya ekosistem hutan.
Hutan mampu memberikan manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung seperti kayu dan minyak bumi, sedangkan manfaat tidak langsung seperti ekowisata, perlindungan, pengaturan tata air, dan pencegahan erosi. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan atau dinikmati secara langsung masyarakat yang menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan keberadaan hutannya. Manfaat langsung dari hutan meliputi kayu, dan hasil hutan ikutan seperti getah, madu, rotan, buah-buahan dll., sementara manfaat tidak langsung meliputi pengaturan tata air, mencegah erosi, penghasil oksigen (O2), ekowisata, perlindungan, tenaga kerja dan pemasukan devisa Negara (Salim, 2002).
Eksistensi hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, flora dan fauna sangat dipengaruhi terhadap tingkat kepekaan manusia akan pentingnya hutan dalam konteks pengelolaan maupun pemanfaatan hutan. Hutan menjadi media interaksi timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan didukung faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi.
Kongres Kehutanan dan Masyarakat Internasional
Luas kawasan hutan alam dunia mula-mula (600 SM atau 8000 tahun yang lalu) berkisar 6,2 miliar hektar (Gardner dan Engelman, 1999), dan pada saat ini hanya sekitar 4,0 miliar hektar  (FAO, 2011 dalam Garcia dan Diez, 2012) yang terdiri dari hutan alam primer dan hutan tanaman. Pengurangan luas hutan dunia meningkat tajam terjadi tahun 1800-an hingga 1990-an dan mulai melambat sejak saat itu. Disisi lain, permasalahan yang dihadapi dalam tatanan kehidupan dunia terus meningkat setiap waktu baik jenis maupun jumlahnya. Sementara itu, populasi manusia terus meningkat dan tingkat peradaban manusia pun semakin maju, sejalan dengan perkembangan budaya yang mampu dihasilkannya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Perhatian masyarakat internasional terhadap hutan dan permasalahan dalam bidang kehutanan telah berlangsung sejak lama. Dalam artikel tentang World forestry congress (WFC) bahwa WF pertama telah diadakan pada tahun 1926 di Kota Roma (Italia). WFC merupakan pertemuan tingkat internasional dalam bidang kehutanan yang paling besar dan paling penting. Sekitar paruh kedua abad kedua puluh, dunia mulai berhadapan dengan permasalahan lingkugan hidup akibat merebaknya berbagai jenis polusi yang terbentuk sebagai hasil sampingan dari proses produksi dalam berbagai industri. Gejala ini terjadi pada industri-industri besar yang menggunakan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil sebagai pembangkit energinya. Hutan sebagai salah satu bentuk ekosistem merupakan bagian penting dari unsur-unsur lingkungn hidup yang menjadi salah satu komponen penting dalam proses timbal-balik antar komponen lingkungan hidup lain dalam proses produksi yang terjadi dalam instrusi tersebut (Suhendang, 2013).
Tahun 1960, kongres kehutanan se dunia ke-5 diadakan di Seatle Amerika Serikat dengan tema kongres prinsip manfaat ganda hutan (Multiple use of forest principles), kongres ini mendeklarasikan berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh hutan. Hutan tidak hanya menghasilkan kayu. Dari hasil kongres kehutanan ini masyarakat kehutanan internasional mengakui fungsi hutan untuk memberikan manfaat berupa kayu (Wood), air (Water), habitat hidupan liar (Wildlife), sumber makanan ternak (Forage), dan tempat untuk rekreasi (Recreation). Kongres ini berhasil melahirkan konsep berfikir baru dimana masyarakat internasional meninggalkan pemikiran yang bersifat sempit terhadap fungsi hutan, yaitu hutan hanya untuk menghasilkan kayu.
Kongres kehutanan se dunia ke 8 yang diselenggarakan di Jakarta (Indonesia) pada tahun 1978 dengan tema Hutan untuk kesejahteraan masyarakat (Forest for people). Isi deklarasi ini pada intinya menegaskan bahwa hutan dunia harus dipelihara dan dimanfaatkan berdasarkan prinsip kelestarian (sustainable based) untuk digunakan dan dapat memenuhi kebutuhan manusia di seluruh muka bumi secara berkelanjutan. Dikeluarkannya deklarasi ini dianggap sebagai tonggak peristiwa masyarakat internasioanal memberikan perhatian bersama tentang perlunya aspek sosial budaya masyarakat diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam pengurusan hutan diseluruh dunia.
Puncak dari berbagai perhatian masyarakat inernasional terhadap masalah lingkungan hidup dan pembangunan, termasuk didalamnya pembangunan kehutanan adalah dikeluarkannya Deklarasi Rio untuk lingkungan hidup dan pembangunan (Rio declaration on environment and development) pada tahun 1992. Inti dari deklarasi ini adalah perlunya dilakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable development). Hubungannya dengan pengelolaan hutan, deklarasi ini mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh (Holistic), terpadu (Integrated), dan berkelanjutan (Sustainable). Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini yaitu prinsip-prinsip kehutanan yang memuat aturan dasar mengenai aspek pengelolaan, aspek konservasi, aspek pemanfaatan, dan pengembangan. Prinsip-prinsip inilah yang melandasi prinsip pengelolaan hutan lestari yang disepakati secara internasional hingga saat ini.
Pasal 10 Ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan dan pendidikan dan pelatihan kehutanan, serta pengawasan. Pengurusan dan pengelolaan hutan adalah dua hal yang berbeda. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam.
Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan asas sebagai dasar atau prinsip (sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat), lebih jauh, asas dapat bermakna dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi). Asas pengelolaan hutan merupakan proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berupa hutan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu dengan tetap mempertahankan produktivitasnya tanpa menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Pengelolaan hutan (Forest management) adalah praktik penerapan prinsip-prinsip biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial, dan analisis kebijakan dalam mempermudahkan, membina, memanfaatkan, dan mengkonservasikan hutan untuk mencapai tujuan dan sasaran-sasaran tertentu dengan tetap mempertahankan kelestarian hasilnya. Pengelolaan hutan mencakup kegiatan-kegiatan pengelolaan terhadap keindahan, ikan, rekreasi, satwa liar, kayu serta hasil bukan kayu lainnya, serta manfaat lain yang dapat dihasilkan dari hutan (Helms 1998 dalam Suhendang 2020). Sehingga menurutnya, pengelolaan hutan mesti berlandaskan pada prinsip-prinsip pengelolaan ekosistem yaitu (1) adanya ketegasan tujuan; (2) dilaksanakan berdasarkan kepada kebijakan, tata cara, dan petunjuk praktis yang jelas; dan (3) bersifat adaptif yaitu proses penyesuaian ke arah yang lebih cocok dengan keadaan lingkungan lokalnya, berdasarkan hasil monitoring dan penelitian yang berlandaskan pemahaman ekologis, serta proses dalam mempertahankan keberlanjutan komposisi, struktur, dan fungsi ekosistem dalam jangka panjang.
Asas pengelolaan hutan pada mulanya hanya berfokus terhadap kelestarian hasil (Sustained yield principles) atau yang lebih dikenal dengan pengelolaan tegakan hutan (Timber stand management) dan terus berkembang. Kemudian bergeser kepada prinsip manfaat ganda hutan (Multiple use of forest principles). Dalam prinsip ini, hutan tidak hanya menghasilkan kayu tetapi juga memberikan manfaat lain. Berikutnya, asas pengelolaan hutan menitik beratkan terhadap peran sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan atau Forest for People. Selanjutnya, prinsip pengelolaan hutan yang dianut oleh sebagian besar Negara-negara di dunia saat ini adalah prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL) dengan tetap melibatkan peran masyarakat sebagai upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Sementara itu, Schlaepfer (1997) dalam Suhendang (2020) menjelaskan pengelolaan berbasis ekosistem (Ecosystem based forest management) adalah penyempurna dari konsep pengelolaan ekosistem.
Pengelolaan berbasis ekosistem didefinisikan sebuah proses yang sistematis, berdasarkan pada penerapan ilmu pengetahuan yang utuh dan sesuai serta penilaian yang baik. Menurutnya, pengelolaan ditujukan pada kesatuan wilayah tertentu, untuk mencapai penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sebagai Negara dengan luas kawasan hutan terbesar ketiga di dunia, seyogyanya menganut 12 prinsip pengelolaan sumber daya hutan dan lanskap untuk pembangunan bekelanjutan yang terdiri dari (1) ditujukan untuk mencapai penggunaan sumberdaya ekosistem secara berkelanjutan; (2) bersifat menyeluruh; (3) berbasis ekosistem; (4) berspersktif lanskap; (5) bertujuan yang sudah ditetapkan; (6) bersifat terintegrasi; (7) bersifat partisipatif; (8) berbasis pada hasil monitoring yang berkelanjutan; (9) bersifat adaptif; (10) berbasis pada ilmu pengetahuan yang utuh dan penilaian yang tepat; (11) memperhitungkan pengetahuan, emosi dan reaksi moral dalam pengembalian keputusan-keputusan; (12) berbasis pada prinsip pencegahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H