Halo sobat kompasiana, berhubung hari ini spesial memperingati peristiwa bersejarah yaitu Gerakan 30 September PKI atau yang sering kita kenal dengan singkatan G30S PKI, di artikel ini saya akan menjabarkan mengenai keterlibatan mantan presiden kedua RI, yaitu bapak Soeharto terhadap peristiwa G30S ini yang informasinya berdasarkan Pledoi dari Kolonel Abdul Latief.
Siapa Itu Kolonel Abdul Latief?
Abdul Latief di masa kecilnya sering dipanggil Gus Dul. Sejak usia masih sangat muda (15 tahun), Belanda mengharuskannya menjalani pelatihan militer sederhana untuk menghadapi kemungkinan serangan besar oleh Dai Nippon. Namun pemerintah kolonial cepat bertekuk lutut dan Gus Dul sendiri ditahan oleh Jepang untuk sementara.
Selang beberapa waktu, ia mengikuti Seinendan dan Peta di Jawa Timur. Pasca pecahnya Revolusi, Latief senantiasa hadir di garis depan. Awalnya di sekitar Surabaya lalu di Jawa Tengah. Dia akhirnya memainkan peran kunci dalam serangan umum tanggal 1 Maret 1949: langsung di bawah perintah Soeharto.
Pasca penyerahan kedaulatan, Latief memimpin satuan tempur melawan Andi Azis dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, RMS di Maluku, Batalyon 426 di Jawa Tengah, Darul Islam di Jawa Barat, dan terakhir PRRI di Sumatera Barat.
Pada masa konfrontasi dengan Malaysia, ia menduduki jabatan penting sebagai Komandan Brigade I di Jakarta, tepat dibawah pimpinan Pangdam Umar Wirahadikusumah. Dalam posisi ini, ia memainkan peran penting, meski bukan peranan kunci, dalam Gerakan 30 September.
Abdul Latief, Gugatannya dan Soeharto
Gugatan pertama adalah bahwa Soeharto, yang saat itu menjadi Panglima Kostrad, telah diberitahu sebelumnya oleh Latief, baik mengenai niat Dewan Jenderal untuk menggulingkan Soekarno maupun tentang rencana G30S untuk menggagalkannya.
Umar pun diberi tahu melalui jalur garnisun dan Pondam. Kedua-duanya tidak melarang, apalagi mencegahnya. Yang artinya Soeharto sengaja membiarkan Operasi G30S dimulai dan tidak memberi tahu atasannya Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani. Pada saat yang sama, Soeharto tentu saja siap mengambil "tindakan" terhadap G30S setelah lawan-lawannya di pucuk pimpinan Angkatan Darat "ditangani".
Gugatan Kolonel Abdul Latief yang kedua adalah membalikkan tuduhan oditur militer bahwa G30S bermaksud menggulingkan Presiden Soekarno, dan penegasannya bahwa "Dewan Jenderal itu tidak ada".
Pada akhirnya, kesimpulan dapat ditarik justru Soeharto lah yang merencanakan penggulingan terhadap Soekarno dan Dewan Jenderal ternyata ada, dan bukannya jenderal Nasution-Jenderal Ahmad Yani cs, melainkan Soeharto dan jenderal-jenderal lain kepercayaannya, yang akhirnya mendirikan kediktatoran berlandaskan Angkatan Darat yang kemudian berlangsung selama puluhan tahun.
Berbagai fakta cenderung membenarkan kesimpulan ini. Jenderal Pranoto Reksosamudro, yang diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai pengganti sementara almarhum Jenderal Ahmad Yani, ditolak oleh Soeharto dan kemudian "diamankan". Aidit, Lukman dan Nyoto, yang mana semuanya berstatus sebagai menteri Bung Karno, dibunuh begitu saja. Walaupun Soekarno berusaha keras untuk mencegahnya, Soeharto dan kawan-kawannya merencanakan dan melaksanakan pembunuhan massal pada bulan-bulan Oktober, November, serta Desember 1965.
Gugatan Kolonel Latief yang ketiga tidak kalah penting dan juga sangat luas, yaitu tentang kebuasan penguasa yang luar biasa dan sama sekali di luar hukum. Bahwa si penggugat masih hidup, masih memiliki akal sehat, serta masih bersemangat hatinya.
Penderitaan Abdul Latief dan Berbagai Catatan Merah Soeharto
Saat ditangkap pada 11 Oktober 1965, kaki dan tangan Jenderal Latief ditusuk dengan bayonet hingga memotong beberapa urat saraf pokok, sedangkan lutut kirinya dihancurkan dengan peluru. Ketika di RSPAD, sekujur badannya ditutup ketat oleh gips semen sehingga hanya kepala yang bisa bergerak. Dalam keadaan seperti itu, ia masih diperiksa interogator, dijebloskan ke dalam sel isolasi yang sempit, lembab, dan kotor.
Luka pada tubuh Kolonel Latief terkena gangrene sehingga tercium aroma bau bangkai. Ketika gips akan dibuka, keluar ratusan ulat sehingga petugas keamanan tak tahan dan berlari keluar untuk memuntahkan isi perutnya. Dua setengah tahun Kolonel Latief berbaring diliputi gips dan baru dioperasi. Ia juga dipaksa menerima suntikan penisilin, meski sudah menyatakan tubuhnya sangat alergi penisilin, yang berakibat ia semaput dan hampir mati.
Perlakuan yang sama diterima tahanan-tahanan lain, khususnya militer yang memang banyak, ditambah dengan makanan yang sangat sedikit dan sering busuk. Tidaklah mengherankan bahwa ratusan orang di penjara salemba mati, banyak yang menjadi lumpuh akibat siksaan dan lebih banyak juga yang menjadi gila. Dan ini keadaan di penjara Salemba saja, belum terhitung puluhan penjara lain di Jakarta dan di daerah, tempat ratusan ribu orang merangkak bertahun-tahun tanpa diadili.
Pledoi Kolonel Latief juga menjelaskan betapa kejamnya seekor monster pribumi yang dingin dan buas. Pada tahun 1965-1966 saja, telah jatuh paling sedikit 600 ribu nyawa. Di TimorTimur, pada 1977-1979, paling sedikit 200 ribu orang dibunuh secara langsung, atau dimatikan dengan kelaparan terencana dan berbagai penyakit.
Dalam peristiwa Petrus pada 1983, Amnesty International menafsirkan 7.000 manusia dieksekusi di luar hukum. Ditambah lagi berbagai korban Aceh, Irian Jaya, Tanjungpriok, Lampung dan lainnya. Yang jika diadakan perhitungan secara konservatif paling sedikit terdapat 800 ribu manusia. Dan semua korban ini, ketika menjadi korban, termasuk "bangsa dhewe" sang monster.
Ratusan ribu manusia dipenjara bertahun-tahun tanpa tuduhan yang jelas, tanpa proses hukum yang masuk akal, serta adanya penyiksaan sadis yang terjadi secara rutin. Belum lagi perampasan harta yang tak terhitung jumlahnya, pemerkosaan yang dianggap sebuah "keisengan", dan pengucilan sosial selama puluhan tahun, bukan hanya terhadap para bekas tahanan politik, tetapi juga para istri, para janda dan anak-anak serta keluarga dalam arti luas.
Berbagai Tabir Kegelapan G30S yang Belum Terungkap
Mengapa Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawannya sampai dibunuh, mengingat rencana semula ialah mempertemukan mereka kepada Bung Karno sebagai grup? Mengapa Lettu Dul Arief, yang langsung memimpin serbuan terhadap rumah-rumah jenderal, ternyata hilang tanpa bekas? Mengapa selama satu setengah hari hampir seluruh Jawa Tengah jatuh ke tangan penyokong-penyokong G30S yang namanya Suherman, Usman dan lain-lainnya? Lalu mengapa mereka pun akhirnya hilang tanpa bekas? Siapa sebenarnya Syam alias Kamaruzzaman, bekas pegawai Recomba Pasundan, bekas anggota PSI, bekas intel komando Militer Jakarta Raya pada masa penyeludupan besar-besaran di Tanjongpriok yang didalangi Ibnu Sutowo dan Nasution, dan juga bekas teman karib D.N Aidit itu? Apakah dia mata-mata tentara di kalangan komunis atau sebaliknya? Atau mata-mata pihak ketiga? Atau sekaligus semuanya? Apakah benar dia sudah dieksekusi, atau hidup tenang di luar negeri dengan nama baru?
Pengumuman Overste Untung bahwa mulai 1 Oktober pangkat overste yang disandangnya akan menjadi pangkat tertinggi di Angkatan Darat otomatis membuat semua jenderal dan kolonel di seluruh Indonesia, yang sebagian pentingnya justru memegang komando atas kesatuan tempur, menjadi musuhnya.
Mengapa daftar nama-nama anggota Dewan Revolusi begitu kacau dan tidak meyakinkan? Lalu mengapa Gerakan 30 September tidak mengumumkan bahwa mereka diperintahkan oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi sendiri, daripada mendemisionerkan Kabinet Presiden tersebut? Mengapa mereka tidak mengajak khalayak ramai turun ke jalan untuk ikut menyelamatkan Bung Karno?
Rasanya tidak masuk akal bahwa politisi kawakan yang terkenal kepandaianya macam Aidit, Njoto, dan Sudisman akan menciptakan sekian banyak blunder politik. Tentunya timbul kecurigaan bahwa serangkaian blunder konyol ini dengan sengaja disetel justru untuk menjamin bahwa G30S akan gagal. Pengumuman-pengumuman seperti itu akan membingungkan publik, melumpuhkan massa, dan memberi alasan mudah untuk penumpasan G30S sendiri. Jika demikian, siapakah yang sebenarnya menciptakan blunder ini dan mengatur penyiarannya melalui RRI?
Keributan mempersoalkan perkara korupsi Soeharto dan keluarga sama gilanya dengan keributan tentang banyaknya gundik Idi Amin, tentang pencolengannya Slobodan Milosevic, atau selera artistik Adolf Hitler yang norak. Bahwa sebagian besar masyarakat dan lapisan intelektual masih sibuk dengan isu uang yang dicuri oleh Pak Harto, itu menunjukkan dengan jelas bahwa mereka belum mampu menghadapi realitas dan sejarah modern bangsa Indonesia.
Terimakasih telah membaca artikel ini hingga selesai, seperti kata pidato Bung Karno "Jas Merah, janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah" semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai sejarah yang telah terjadi di masa lampau agar tidak terulang di masa depan kelak, see u di artikel berikutnya.
Sumber dan Referensi:
- Buku Pledoi Kol. A Latief: Soeharto Terlibat G30S
- Uraian Prof. Ben Anderson dari Cornell University (Majalah Tempo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H