Maka Ridho memulai ikhtiarnya kembali. Namun kali ini berbeda. Ridho berusaha menghidupkan kembali musholla di dekat rumahnya. Sebab menurut Kyai Shobron, musholla itu adalah warisan yang harus ia jaga. Sebagian waktunya ia dedikasikan pula untuk membangun pondok pesantren di kampung halamannya.Â
Dengan semua cobaan dan tantangan, mampukah Ridho menjadi pengusaha sukses tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang santri?
Review
"Kembara Rindu" dapat dikatakan sebagai sebuah novel perjalanan. Lika-liku kehidupan sang tokoh utama, Ainur Ridho, membuat kita dapat melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang berbeda. Khususnya pada bagian pembagian harta warisan ayah Syifa. Selama ini tentu pandangan bahwa istri kedua adalah "orang ketiga" atau "perusak" hubungan rumah tangga sudah menjadi stigma di masyarakat. Lewat novel ini Habiburrahman bercerita tentang bagaimana masalah tersebut dari sudut pandang keluarga si istri kedua.
Novel setebal 226 halaman ini bukanlah novel roman, walau terdapat bumbu-bumbu cinta antara insan di dalamnya. Novel ini mengajarkan cinta yang lebih luas. Pada guru, orang tua, keluarga, masyarakat, dan pada masjid serta umat.
Pelajaran terbesar dan terpenting dari novel ini tentu ada pada kata "rindu". Ridho memberitahu kita bahwa rindu tidak hanya sekedar suami kepada istri, orang tua pada anak, dan sebagainya. Ini adalah kerinduan untuk menghidupkan cahaya Islam di pelosok negeri.
Sudut pandang pada awal cerita memang terkesan ambigu, membuat kita terkadang bingung, siapa sebenarnya tokoh utama. Syifa? Atau Ridho?Â
Namun ini menjadi poin plus dari novel ini. Rasa penasaran yang muncul karena ambiguitas sudut pandang akan membuat kita terus menyelam dalam lautan kata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H