Selain itu, BRICS memiliki New Development Bank (NDB), yang bisa menjadi mitra strategis dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur Indonesia.Â
Dengan sokongan finansial ini, Indonesia dapat mempercepat pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas energi yang menjadi fondasi untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Namun, lebih dari sekadar keuntungan ekonomi, keanggotaan di BRICS juga membawa Indonesia ke level baru dalam diplomasi internasional. BRICS menawarkan platform bagi Indonesia untuk ikut membentuk kebijakan global dan memperjuangkan keadilan ekonomi dunia.
 Dengan BRICS, Indonesia dapat lebih efektif mendorong agenda-agenda penting, seperti kesetaraan dalam perdagangan internasional, reformasi keuangan global, dan pembangunan berkelanjutan.
Tidak hanya itu, BRICS memberi Indonesia peluang besar dalam transfer teknologi dan inovasi. Negara-negara seperti Cina dan India, yang sudah menjadi pemimpin dalam teknologi digital dan energi terbarukan, dapat menjadi mitra Indonesia dalam mentransformasi sektor teknologi dan meningkatkan daya saing industri nasional.
Kerja sama ini juga akan memperkuat ketahanan energi dan pangan Indonesia. Dengan akses ke sumber daya energi dari Rusia dan teknologi pertanian dari Brasil, Indonesia dapat menghadapi krisis global dengan lebih baik, memastikan rakyat memiliki akses yang stabil ke energi dan pangan.
Indonesia bergerak maju, membuka babak baru dalam sejarahnya di kancah internasional, bersama BRICS, demi masa depan yang lebih cerah dan makmur.
Resiko Indonesia Bergabung BRISC
Menjadi keanggotaan BRICS bukan tanpa resiko. Bergabungnya Indonesia di BRICS bisa menciptakan benturan kepentingan antara Ameraika Serika dan sekutunya yang juga merupakan negara tujuan ekspor Indonesia. diketahui sekarang Amerika dan Cina sedang berperang besar lewat ekonomi dagang. Jika tidak diantisipasi dengan matang, justru indonesia akan kehilangan jumlah fasilitas perdagangan dan pasar untuk ekspor dagang ke negara tersebut.
Selain itu, menjadi keanggotaan BRICS Indonesia tentunya juga mendapat ancaman  sampai sekarang pemerintah masih sulitnya membendung produk import dari Cina sehingga menyebabkan banyak industri yang manufaktur terutama tekstil banyak gulung tikar.
Kita bisa melihat masa kepemimpinan Jokowi sebesar 41 persen investasi dari Cina ditanamkan keindonesia lewat Industri pengolahan logam dasar yang tidak ramah lingkungan, termasuk pembangunan Smelter nikel yang sampai sekarang ini banyak masyrakat meraskan efek yang buruk dari industri tersebut.