Mohon tunggu...
Muhammad Rafli
Muhammad Rafli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Akan selalu menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Citayam Fashion Week sebagai Ruang Publik

5 Agustus 2022   18:45 Diperbarui: 5 Agustus 2022   18:49 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Citayam Fashion Week yang belakangan ini sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, merupakan salah satu fenomena sosial yang sangat menarik untuk dibahas. Berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya masyarakat umum saja, tetapi juga para artis dan bahkan para pejabat pun ikut meramaikan fenomena sosial ini. Banyak remaja, terutama anak-anak muda dari daerah sekitaran Jakarta seperti Citayam, Bojong gede dan Depok, berkumpul di kawasan Sudirman lebih tepatnya di Dukuh Atas. Ini merupakan nama atau istilah baru untuk SCBD, yang mana kita ketahui SCBD sebenarnya adalah singkatan dari Sudirman Central Business District, dan pada sekarang ini lebih dikenal dengan nama Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.

Para ABG ini mengubah zebra cross tempat penyeberangan menjadi tempat catwalk dadakan di sepanjang zebra cross di kawasan Dukuh Atas. Sama halnya seperti anak muda yang biasa suka nongkrong, anak-anak SCBD ini juga sekaligus menunjukkan gayanya dengan memamerkan gaya busananya yang unik. Mereka berjalan di zebra cross yang dijadikan tempat catwalk seperti seorang model fashion show. Selain itu, para remaja ini hanya bermodalkan uang seadanya saja untuk dapat pulang pergi naik KRL serta membeli makanan dan minuman yang dijual oleh para pedagang kaki lima. anak-anak muda ini menghabiskan waktu di kawasan Dukuh Atas sambil bercanda dengan rekannya serta menikmati acara street fashion show. Pakaian ataupun outfit yang dikenakan mereka pun bukanlah pakaian-pakaian branded. Mereka mendapatkannya dari marketplace ataupun thrifting di pasar.

Fenomena ini disebut Fashion Week karena mereka yang berkumpul di sana memiliki ciri khas tersendiri dalam hal berpakaian dan penampilan. Ada yang memakai celana jeans model cutbray ala anak 90an, kaos oversized, kemeja flanel, kacamata stylish, serta bermacam topi dan sneakers. Selain itu, ada juga dari mereka yang mengenakan pakaian bernuansa hitam dengan gaya semacam streetwear dan nyentrik. Fenomena Citayam Fashion Week sangat menarik perhatian karena fenomena ini pada awalnya dipandang bertolak belakang karena kawasan Sudirman sudah lebih dulu dikenal dengan citra elite. Yang dimana tadinya kawasan Sudirman dan Dukuh Atas ini didominasi oleh masyarakat dari Ibu Kota atau orang yang bekerja kantoran dengan setelan kasual dan semi formal.

Terlepas dari perbincangan hangat yang muncul dari Fenomena Citayam Fashion Week, ada salah satu masalah yang harus menjadi perhatian besar bagi pemerintah, khususnya dalam aspek penataan wilayah dan kota, yaitu pentingnya keberadaan ruang publik bagi masyarakat. Memang harus diakui, jika membahas tentang Jakarta dan daerah sekitarnya, bahwa ruang publik masih menjadi sesuatu yang belum terlalu sering dijumpai. Hal ini dikarenakan lahan yang tersedia lebih diprioritaskan untuk dibangun sebagai kawasan perkantoran, industri, dan lain-lain. Sedangkan masyarakat membutuhkan ruang untuk bersosialisasi, berinteraksi, serta untuk sekedar mencari hiburan.

Oleh karena itu, ketika ada ruang publik dengan fasilitas yang memadai, seperti kawasan Dukuh Atas dan Sudirman, yang tidak dapat ditemukan di kawasan lain, otomatis mengundang kedatangan masyarakat dari daerah sekitaran Jakarta, seperti Bogor, Depok, dan sekitarnya. Apalagi, akses untuk dapat datang ke kawasan Dukuh Atas dan Sudirman ini sangatlah mudah. Misalnya, dengan adanya KRL yang hanya menghabiskan uang yang tidak terlalu banyak, masyarakat dapat mengakses ruang publik ini dengan perjalanan yang aman, nyaman serta cepat.

Fenomena yang awalnya dianggap bertolak belakang, lambat laun mulai dipahami oleh mereka yang memahami konteks kebutuhan kelompok masyarakat lain yang sebenarnya. Apalagi ditambah pendapat dan tanggapan yang sama juga diungkapkan oleh Gubernur DKI Jakarta sendiri, yaitu Bapak Anies Baswedan. Menurut dia, hal ini merupakan kesempatan untuk menyamakan kepemilikan fasilitas umum dalam kepemilikan bersama. Dapat dijelaskan, bahwa kawasan Sudirman tadinya hanya dimiliki atau hanya diakses oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan di daerah tersebut, dalam artian hanya para pekerja di Ibu Kota. Jadi tidak semua orang bisa atau berkesempatan untuk bersantai dan menikmati kawasan pedestrian terbesar yang ada di Jakarta ini. Namun dengan adanya fenomena sosial ini, tidak hanya para pekerja yang ada di Ibu Kota atau masyarakat Jakarta saja, bahkan seluruh masyarakat Jabodetabek dapat menikmati ruang publik yang ada di kawasan tersebut.

Kemudian pada dasarnya, para anak-anak muda mengekspresikan diri di ruang publik boleh saja, asalkan tetap menjaga etika. Dalam hal ini, jangan melanggar aturan yang ada ataupun yang berlaku. Etika juga dapat diterapkan dengan tetap menjaga kebersihan area kawasan ruang publik dengan membuang sampah pada tempatnya. Salah satu hal penting yang harus diingat yaitu dengan tetap menjaga hak antar sesama untuk dapat menikmati fasilitas ruang publik dan segala sarana prasarananya. Kemudian hal penting lainnya yaitu tidak melakukan vandalisme atau merusak fasilitas umum, serta tidak melakukan tindakan kriminal dengan cara apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun