Mohon tunggu...
Siti Mahmudah
Siti Mahmudah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Walisongo Semarang

Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Guru Matematika terhadap Perkembangan Psikologi Anak Sekolah Dasar

18 April 2021   22:25 Diperbarui: 18 April 2021   23:09 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mata pelajaran matematika menurut sebagian besar anak adalah suatu momok yang menakutkan. Hal ini dikarenakan matematika memiliki sedikit teori dan banyak eksaknya. Dapat diibaratkan seperti 10% teori dan 90% eksak. Arti eksak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bidang ilmu mengenai hal-hal yang bersifat konkret atau nyata yang bisa diketahui serta diselidiki dengan berdasarkan pada percobaan sehingga dapat dibuktikan dengan pasti. 

Oleh karena itu, salah satu pelajaran eksak yaitu matematika. Selain momok yang menakutkan, eksak matematika juga dianggap anak sebagai mata pelajaran yang sulit dipelajari apalagi dipahami, sehingga diperlukan pembimbing yang ahli dibidangnya, sabar, dan mengerti karakter anak. Pembimbing tersebut yakni guru, orang tua, dan guru les jika orang tua menghendaki. Namun, dalam hal ini guru belum bisa menjadi pembimbing yang baik menurut sebagian besar anak.

Problematika yang sering ditemui pada sekolah dasar terkait mata pelajaran matematika yaitu mindset oleh sebagian guru yang menganggap bahwa, anak dinilai pandai jika mahir dalam matematika, sehingga tak jarang guru merendahkan anak yang sulit mengerjakan soal matematika. Selain guru, orang tua juga merendahkan anak yang kurang pandai matematika. 

Saat mengerjakan PR dari guru, orang tua memahami bahwa belajar harus disertai dengan penekanan pada anak. Padahal ketika anak sedang belajar membutuh pikiran yang tenang sehingga dia dapat memahami apa yang ditelaah. Hal ini membuat anak tertekan dan terpaksa harus berpikir kritis walaupun dengan kondisi mental yang seharusnya belum siap.

Ketika pembelajaran matematika, ada kalanya  kefokusan terhadap satu materi sangat diperlukan supaya anak didik tidak terlalu santai dan mungkin mengakibatkan teman yang lainnya terganggu. 

Akhirnya suasana kelas menjadi kurang kondusif, sehingga anak sulit mengerjakan ujian. Ujian adalah salah satu bentuk ukuran ketercapaian kompetensi yang dicapai oleh anak didik. Namun ketika ujian tersebut tidak diawali dengan simulasi soal serta pemetaan kisi-kisi maka menyebabkan anak didik sulit mengerjakan dan beranggapan bahwa soal berbeda dengan materi yang telah diajarkan. 

Jika ulangan dan ujian tidak diberi simulasi dan kisi-kisi, maka kemungkinan besar anak didik tidak bisa mengerjakan model soal yang keluar ketika ujian dan mengakibatkan angka remedial menjadi tinggi. Hal itu juga memakan waktu yang cukup lama dalam pembelajaran. 

Sebagian besar rata-rata nilai ujian nasional pada mata pelajaran eksak rendah, disebabkan oleh faktor pengerjaan setiap butir soal dengan waktu terlalu lama. Dibalik problematika pembelajaran matematika di sekolah dasar dikarenakan oleh dasar metode dan strategi yang dipakai oleh guru ketika proses pembelajaran tidak sesuai dengan keadaan anak didik baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik anak usia 6-12 tahun, karena sukses tidaknya pembelajaran tergantung metode dan strategi yang diambil oleh guru.

Berdasarkan problematika yang telah disebutkan, mata pelajaran matematika dinilai sebagai mata pelajaran yang dapat mempengaruhi psikologi perkembangan anak didik. Sebagian besar anak beranggapan guru matematika dinilai tidak ramah saat pelajaran, tidak memahami perbedaan kemampuan anak, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa guru matematika sering mengadakan ulangan dadakan dan pre-test. 

Umumnya setelah pelaksanaan pembelajaran, seorang guru akan memberikan evaluasi berupa pekerjaan rumah (PR). PR matematika menurut anak didik merupakan salah satu PR yang sulit, maka perlunya adanya bimbingan orang tua maupun guru les. Seperti yang diketahui, orang tua juga memiliki kesibukan yang mana setiap anak meminta bantuan orang tua dalam mengerjakan PR matematika, orang tua selalu marah. 

Anak yang tidak bisa matematika, maka sering terjadi bentakan terhadap anak yang mengakibatkan anak menangis dan merasa tertekan. Oleh karena itu, fenomena ini sangat menarik untuk dibahas mengenai pengaruhnya terhadap perkembangan psikologi anak.

Cara guru dalam mengajar matematika dapat mempengaruhi psikologi perkembangan anak usia sekolah dasar. Pengertian psikologi perkembangan adalah cabang psikologi yang mempelajari perkembangan perilaku manusia. Psikologi perkembangan mempelajari perubahan yang terjadi dalam diri, seperti struktur, jasmani, perilaku, fungsi mental manusia selama hidupnya. Salah satu masa psikologi perkembangan pada seseorang yaitu usia 6-12 tahun (sekolah dasar). 

Anak-anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak yang lebih muda. Anak senang bermain, bekerja dalam kelompok, dan melakukan sesuatu secara langsung. Seorang guru harus bisa memadukan pelajaran dengan bermain. Melalui kegiatan bermain, anak akan dapat mencapai tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi dari motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup (Jurnal Hascita Istiqomah dan Suyadi, 2019).

Salah satu tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson adalah anak usia 6-12 tahun (anak sekolah dasar) yang mempunyai istilah Industry versus Inferiority (kerajinan dan ketidakmampuan). Pada tahap ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dari menyelesaikan tugas sekolah. 

Penyelesaian yang sukses akan membuat anak dapat mencari solusi dan memiliki kebanggaan terhadap prestasinya. Ketrampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior (Jurnal Scania, Unud). 

Jika guru matematika memberikan tugas kepada anak terlalu berlebihan dan menyulitkan, maka anak akan frustasi jika tidak bisa menyelesaikan tugasnya, apalagi tekanan orang tua yang memaksa anak harus pandai matematika. Sehingga dalam hal ini, anak bukan memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas, melainkan merasa tertekan dari banyak pihak. 

Dan saat pembelajaran, guru selalu mengagung-agungkan anak yang pandai matematika dan memojokkan serta menekan anak yang tidak pandai matematika, maka anak akan merasa inferior karena minder dengan temannya yang pandai matematika. Hal ini seperti yang dikatakan Erik Erikson anak tidak bisa menemukan solusi positif sehingga mental anak tetap ngedrop tanpa dampingan guru dan orang tuanya.

Cara mengatasi problematika yang sudah disebutkan pada pendahuluan di atas. Pertama, anak didik sering menganggap matematika adalah momok yang menakutkan. Anggapan buruk ini teratasi jika guru bisa menciptakan suasana kelas yang menyenangkan sesuai anak usia 6-12 tahun. Misalnya diselingi dengan bermain, bergurau, dan tidak tegang saat pembelajaran. Kedua, persepsi guru bahwa anak pandai adalah yang mahir matematika. 

Pernyataan ini bisa dipatahkan jika guru mengetahui pentingnya memahami masing-masing potensi anak. Potensi yang dimiliki oleh anak SD hanya sebatas aktivitas yang disukai dan tidak dapat dibatasi. Seperti ketika anak melakukan sesuatu seperti bermain bola maka dia pasti akan mencari jalan untuk bisa bermain bola setiap saat. 

Selain itu, anak merasa nyaman untuk mempelajari aktivitas yang hanya disukai saja. Bakat dapat diketahui dari beberapa faktor, salah satunya anak merasa nyaman untuk mempelajari lebih lanjut tentang aktivitas yang disukainya tanpa tekanan. 

Oleh karena itu, anak tidak akan memiliki bakat matematika jika guru menekannya (Jurnal Dea Rakhimafa, 2019). Dengan cara ini, guru tidak akan menekan anak yang sulit belajar matematika. 

Ketiga, lemahnya kompetensi guru dan metode yang digunakan dalam pelajaran matematika. Dampaknya seperti guru galak, anak tidak memperhatikan pelajaran sehingga anak kesulitan mengerjakan ujian. Empat kompetensi yang wajib dimiliki oleh guru matematika antara lain, yang pertama yaitu kompetensi pedagogik. Seorang guru matematika perlu memahami anak didik yang mempunyai kelemahan dan kesulitan dasar dalam matematika. 

Kedua, kompetensi kepribadian. Seorang guru matematika perlu memiliki kesabaran ekstra dan pengendalian emosi ketika menemukan anak yang kurang mampu dalam mata pelajaran matematika. Ketiga, kompetensi sosial. Ketika anak didik datang ke kelas dalam keadaan yang kurang siap untuk belajar, guru perlu mencoba untuk mendengarkan apakah ada alasan yang mendasar yang menyebabkan hal tersebut. Dan yang keempat, kompetensi profesional. Guru matematika harus menguasai bidangnya (Jurnal Kurnia Putri, 2018)

Selanjutnya, selain kompetensi yang harus dimiliki guru matematika, metode pembelajaran matematika juga diperlukan untuk menciptakan ruang kelas yang kondusif. Metode yang tepat untuk pelajaran matematika adalah metode yang bersifat konvensional yaitu metode ceramah atau melakukan penjelasan yang dikombinasikan dengan metode ekspositori dan latihan. 

Pada saat pemaparan materi guru menyertakannya dengan memberikan beberapa contoh sebagai latihan kepada anak untuk dikerjakan di dalam kelas. Apabila dari hasil tersebut anak sudah banyak yang benar dalam pengerjaan tugas latihan maka akan dilanjutkan ke materi berikutnya dan jika belum akan diulang kembali (Jurnal Zul Anwar, 2012). Jika guru menggunakan metode ini, sudah dipastikan anak tidak akan menganggap materi yang diajarkan dengan ujian berbeda, dan juga matematika tidak akan menjadi pelajaran dengan jumlah remedi tertinggi. 

Tidak hanya itu, saat pemberian PR anak akan tanggap jika dibimbing orang tua, sehingga meminimalisir kemarahan orang tua yang dapat menjatuhkan mental anak. Apabila permasalahan ini dalam kehidupan sehari-hari teratasi, maka anak akan merasa percaya diri akan kemampuannya dalam matematika tanpa tekanan dari siapa pun.

Untuk menjadi guru matematika yang asyik dan menyenangkan agar tidak membuat anak didik tertekan, tentunya perlu beberapa tips. Pertama, mempersiapkan bahan ajar dapat mempengaruhi keberhasilan suatu pembelajaran. 

Kedua, guru jangan hanya menggunakan metode ceramah saja, tetapi juga metode yang menyenangkan, yaitu yang membuat anak aktif dan melakukan sendiri. Misalkan mengamati secara langsung alam sekitar dengan alat bantu "audio-visual", metode permainan atau game, dan lain-lain. 

Ketiga, menjadi guru yang humoris agar pembelajaran tidak membosankan. Misalnya diselingi dengan gurauan namun tidak terlepas dari fokus pembelajaran. Keempat, guru senantiasa ramah, berpenampilan yang sopan dan sabar. Menjaga penampilan bagi seorang guru merupakan suatu keharusan, karena kalau seorang guru berpenampilan menarik dan rapi akan membuat anak didik merasa betah dengan guru. 

Kelima, memberikan penghargaan kepada anak yang memiliki kuantitas dan kualitas pertanyaan investigatif yang baik. Keenam, guru memahami psikologi perkembangan anak. 

Guru yang paham psikologi perkembangan anak dapat mengetahui sebab anak berbuat sesuatu, sehingga apabila anak melakukan kesalahan, maka guru dengan tanggap dapat mengubah anak menjadi berbuat baik sesuai tujuan pendidikan.(Jurnal Zainal Abidin, 2019)

Kesimpulannya, matematika menurut anggapan sebagian besar anak sebagai mata pelajaran yang menakutkan. Faktor-faktor yang membuat anggapan tersebut yaitu mindset guru dan orang tua yang menganggap anak pandai harus mahir matematika, guru yang selalu emosi, metode tunjuk random, remedi terbanyak, PR yang merepotkan orang tua, dan materi dengan ujian berbeda. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan psikologi anak khususnya psikososial. 

Menurut Erik Erikson, tahap pada anak SD ialah Industry versus Inferiority. Yang mana jika anak kesulitan mengerjakan matematika tidak akan memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas, sehingga anak akan mengalami mental tertekan. Cara mengatasi permasalahan ini, dengan mengubah metode pembelajaran, dan menjadi guru yang menyenangkan bagi anak.

Daftar Pustaka :

Abidin, Zainal . 2019. Belajar Matematika Asyik dan Menyenangkan. Jurnal Pendidikan. Pelita Hati School of Jember, Indonesia.

Anwar, Zul. 2012. Pelaksanaan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan. Vol. 5 No. 2

Dirgantoro, Kurnia Putri Sepdikasari. 2018. Kompetensi Guru Matematika Dalam Mengembangkan Kompetensi Matematis Siswa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 8 No. 2

Istiqomah, Hascita dan Suyadi. 2019. Perkembangan Fisik Motorik Anak Usia Sekolah Dasar Dalam Proses Pembelajaran. Jurnal PGMI. Vol. 11 No. 2

Riendravi, Scania. "Perkembangan Psikososial Anak". Bagian /SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar.   

Wulandari, Dea Rakhimafa. 2019. Menumbuhkan Bakat Anak Sekolah Dasar Di Lingkungan Keluarga. Jurnal Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah.  Vol. 2 No. 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun