Mohon tunggu...
Muhamad AryaDzulfikar
Muhamad AryaDzulfikar Mohon Tunggu... Lainnya - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

hobi saya hiking,olahraga danmenceritakan dalam sebuah tuliasan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Kedamaian Melalui Peristiwa Bom Bali

26 Desember 2023   03:30 Diperbarui: 26 Desember 2023   07:15 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman, juga menjadi tempat berkembangnya berbagai keyakinan selain Islam. Masyarakat Indonesia, termasuk mereka yang beragama Islam, memiliki kepercayaan dan keyakinan yang bervariasi. Dengan kata lain, orang Islam di Indonesia memiliki keyakinan individu yang beragam. 

Semakin meningkatnya faham radikalisme agama telah menghancurkan citra ramah dan toleran terhadap keragaman di Indonesia. Tindakan seperti bom bunuh diri, serangan terhadap kelompok minoritas keagamaan serta pengrusakan aset publik telah menciptakan catatan hitam dalam hal toleransi beragama di tanah air.

Secara genealogis, Marty menekankan bahwa radikalisme agama bermula dari interpretasi agama yang bersifat skriptural-tekstualis, sempit, dan berpola hitam-putih. Jenis pemahaman ini cenderung memunculkan keyakinan yang bersifat fundamentalis, bahkan mengarah pada sikap keagamaan yang kaku. 

Fundamentalisme itu sendiri merupakan semangat di balik gerakan radikalisme agama yang mendorong penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, dalam kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik, banyak orang yang memilih 'jalan pintas kekerasan' dengan menggunakan agama sebagai dalih.

 Gerakan fundamentalis-radikalis dalam kalangan kelompok agama selalu menjadi ancaman serius terhadap kecurigaan, mengingat sulitnya menentukan dan melokalisasi target dalam konstelasi target operasi kekerasan. Meskipun pada awalnya perjuangan mereka dimotivasi oleh resistensi terhadap simbol dan kepentingan Barat yang bersifat sekuler dan hedonis, tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh mereka justru mengejutkan karena mengorbankan umat beragama yang tidak bersalah, bahkan termasuk kelompok yang memiliki keyakinan seagama dengan para pelaku teror.

Dengan adanya kasus radikalisme yang telah terjadi maka akan muncul stigma masyarakat yang negatif pada pemeluk agama tertentu. Dalam tulisan ini mencoba menggali suatu peristiwa terorisme, kemudian ditarik pada suatu penilaian yang bersifat objektif dalam artian tak menyalahkan satu pihak dan membenarkan aksi tersebut. 

Dalam penulisan ini menggunakan metodologi sejarah, beberapa tahapan yang harus dipenuhi antara lain adalah : pertama adalah pemilihan topik; kedua, pengumpulan sumber atau heuristik; yang ketiga, verifikasi atau kritik sumber; keempat, interpretasi; dan yang kelima, penulisan atau historiografi. Menangggapi peristiwa yang terjadi maka digunakan teori dialektika dalam sudut pandang filsafat sejarah. 

Peristiwa Bom Bali boleh dianggap sebagai salah satu elemen penting dalam kerangka gerakan kumpulan ekstremisme selepas peristiwa 11 September 2001, ketika pesawat yang dibajak menabrak World Trade Center dan Pentagon. Bagi Indonesia, dan Asia Tenggara, saat itu adalah ketika Bali, “Pulau Dewata”, meledak pada 12 Oktober 2002. Sebagian besar analisis di luar sana berfokus pada akar penyebab masalah, pada Islam, atau pada kemampuan operasional atau ideologi Jemaah Islamiyah (JI), yang diduga berada di balik pengeboman.

Pelaku pengeboman di Bali merupakan warga negara Indonesia yang terpapar virus radikalisme dari luar, hal tersebut bisa dibuktikan dari jejak pengalaman para pelaku. Sebagian besar pelaku yang terlibat dalam Bom Bali telah mengikuti pendidikan militer di Afghanistan. Tokoh-tokoh seperti Ali Ghufron, Ali Imron, Imam Samudera, Umar Patek, Dulamtin, dan lainnya, adalah individu-individu yang memiliki simpati tinggi terhadap kondisi rakyat Palestina. 

Oleh karena itu, mereka dengan sukarela memilih untuk mengikuti dan menjalani pelatihan militer di Afghanistan, yang dikenal sebagai Akademi Militer Mujahiddin Afghanistan. Setelah lulus dari akademi tersebut, mereka merasa bahwa pengetahuan yang mereka peroleh harus diimplementasikan, dan sebagai hasilnya, mereka mulai menciptakan serta mencari jalur jihad mereka sendiri. Dengan pengetahuan yang dimiliki dan tekad untuk menerapkan ilmu tersebut, mereka mulai membangun cara-cara jihad yang sesuai dengan keyakinan mereka.

Bom Bali dianggap sebagai bentuk balasan terhadap serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya terhadap umat Muslim di Afghanistan dan Somalia. Selain itu, pengeboman di Bali dijelaskan sebagai upaya untuk membalas dan melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Argumen ini tidak dilontarkan tanpa dasar yang jelas, terutama oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Afganistan. 

Mereka terus mendapatkan informasi tentang situasi kaum Muslim di Afghanistan dan percaya bahwa serangan-serangan yang terjadi di sana didukung oleh Amerika. Hal ini karena Amerika dianggap sebagai satu-satunya negara adidaya yang masih memegang kekuasaan, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet. Para juga pelaku meyakini bahwa Amerika menjadi sekutu Israel, yang dianggap sebagai pelaku utama dalam serangan-serangan di Afghanistan.

Sebagian besar korban tewas dalam tragedi tersebut berasal dari orang-orang yang berada di dalam atau dekat Paddy's Pub atau Sari Club. Korban-korban ini terdiri dari wisatawan Barat, yang kebanyakan berusia antara 20-an hingga 30-an tahun, termasuk beberapa penduduk Bali yang berada di sekitar lokasi kejadian atau di seluruh daerah tersebut. Banyak di antara mereka mengalami luka bakar yang parah dan cedera lainnya. Sejumlah besar korban, terutama dari Australia, mencapai 88 orang yang tewas.

Tragedi tersebut mengakibatkan kecanggungan antar umat beragama khususnya diwilayah bali. Untuk mnetralkan suasana agar tidak ada suatu kecnggungan sosial diadakan komunikasi antar umat beragama melalui kearifan lokal di bali, seperti melaksanakan ajaran akulturasi :Tat TwamAsi, Tri Hita Karana, atauWasudewa Kutum Bakam. Namundalam praktik sosialnya dilakukan melalui kearifanlokal  Bali,  seperti menyamabraya, metulungan, dan ngejot. Suwindia.

Paham radikalisme pasti akan selalu mengalir di ruang lingkup masyarakat, membendung paham radikal adalah suatu keharusan dalam menempuh suatu kedamaian. Dalam kasus bom bali terjadi karena faktor intern ketidak pahaman atas keagamaan, Pemahaman tersebut harus di nanggulang melalui pendidikan atau penyuluhan anti radikalisme. formulasi penting yang dapat diupayakan.

Pertama, fokus pada pendalaman dan pemahaman aspek keagamaan terkait perdamaian, kerukunan, dan kemanusiaan. Hal ini tidak hanya didasarkan pada intelektualitas kognitif, tetapi lebih menekankan pada aspek “penghayatan” (afektif) dan “pengamalan” (psikomototik). Upaya ini bertujuan untuk mewujudkan pendidikan yang dihapuskan pada nilai-nilai kerukunan dan perdamaian (pendidikan berbasis nilai-nilai perdamaian) dengan tujuan mendekatkan pemahaman tentang agama agar bersifat inklusif terhadap realitas pluralisme.

Kedua, penekanan pada pengutamaan moralitas (budi pekerti) sebagai praktik nyata (amal), bukan hanya sebagai aspek intelektual. Hal ini mengingat bahwa pada hakikatnya, tak satu pun dari ajaran agama yang mengesahkan penggunaan 'kekerasan' sebagai cara menyelesaikan konflik.

Ketiga, pencapaian dalam pendidikan berbasis nilai perdamaian, dalam upaya menghilangkan konflik sosial-keagamaan, sebenarnya dimulai dari tumbuhnya kesediaan untuk 'menghargai nilai'. Menghargai nilai berarti bahwa seseorang atau peserta didik telah tergerak secara emosional dan dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai tersebut, seperti nilai kerukunan, nilai pentingnya perdamaian dan penolakan terhadap kekerasan, serta nilai saling menghargai perbedaan keyakinan, dianggap sebagai sesuatu yang indah dan positif untuk diri pribadi dan masyarakatnya.

Berbagai aspek penting dalam pendidikan berbasis nilai perdamaian diatas, dapat menjadi upaya apresiatif dalam rangka ikut menyelesaikan konflik sosialkeagamaan yang masih rentan terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Dalam kasus bom bali para pelaku terpapar paham radikalisme baik dari dalam maupun luar, perlu adanya pencegaham paham radikal, perlawanannya yaitu  melalui pemahaman perdamaian yang disokong oleh guru-guru yang pluralis dan sikap damai yang tertanam pada diri. Maka akan menciptakan sebuah kondisi sosial yang harmonis diantara kalangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun