Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman, juga menjadi tempat berkembangnya berbagai keyakinan selain Islam. Masyarakat Indonesia, termasuk mereka yang beragama Islam, memiliki kepercayaan dan keyakinan yang bervariasi. Dengan kata lain, orang Islam di Indonesia memiliki keyakinan individu yang beragam.
Semakin meningkatnya faham radikalisme agama telah menghancurkan citra ramah dan toleran terhadap keragaman di Indonesia. Tindakan seperti bom bunuh diri, serangan terhadap kelompok minoritas keagamaan serta pengrusakan aset publik telah menciptakan catatan hitam dalam hal toleransi beragama di tanah air.
Secara genealogis, Marty menekankan bahwa radikalisme agama bermula dari interpretasi agama yang bersifat skriptural-tekstualis, sempit, dan berpola hitam-putih. Jenis pemahaman ini cenderung memunculkan keyakinan yang bersifat fundamentalis, bahkan mengarah pada sikap keagamaan yang kaku.
Fundamentalisme itu sendiri merupakan semangat di balik gerakan radikalisme agama yang mendorong penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, dalam kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik, banyak orang yang memilih 'jalan pintas kekerasan' dengan menggunakan agama sebagai dalih.
Gerakan fundamentalis-radikalis dalam kalangan kelompok agama selalu menjadi ancaman serius terhadap kecurigaan, mengingat sulitnya menentukan dan melokalisasi target dalam konstelasi target operasi kekerasan. Meskipun pada awalnya perjuangan mereka dimotivasi oleh resistensi terhadap simbol dan kepentingan Barat yang bersifat sekuler dan hedonis, tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh mereka justru mengejutkan karena mengorbankan umat beragama yang tidak bersalah, bahkan termasuk kelompok yang memiliki keyakinan seagama dengan para pelaku teror.
Dengan adanya kasus radikalisme yang telah terjadi maka akan muncul stigma masyarakat yang negatif pada pemeluk agama tertentu. Dalam tulisan ini mencoba menggali suatu peristiwa terorisme, kemudian ditarik pada suatu penilaian yang bersifat objektif dalam artian tak menyalahkan satu pihak dan membenarkan aksi tersebut.
Dalam penulisan ini menggunakan metodologi sejarah, beberapa tahapan yang harus dipenuhi antara lain adalah : pertama adalah pemilihan topik; kedua, pengumpulan sumber atau heuristik; yang ketiga, verifikasi atau kritik sumber; keempat, interpretasi; dan yang kelima, penulisan atau historiografi. Menangggapi peristiwa yang terjadi maka digunakan teori dialektika dalam sudut pandang filsafat sejarah.
Peristiwa Bom Bali boleh dianggap sebagai salah satu elemen penting dalam kerangka gerakan kumpulan ekstremisme selepas peristiwa 11 September 2001, ketika pesawat yang dibajak menabrak World Trade Center dan Pentagon. Bagi Indonesia, dan Asia Tenggara, saat itu adalah ketika Bali, “Pulau Dewata”, meledak pada 12 Oktober 2002. Sebagian besar analisis di luar sana berfokus pada akar penyebab masalah, pada Islam, atau pada kemampuan operasional atau ideologi Jemaah Islamiyah (JI), yang diduga berada di balik pengeboman.
Pelaku pengeboman di Bali merupakan warga negara Indonesia yang terpapar virus radikalisme dari luar, hal tersebut bisa dibuktikan dari jejak pengalaman para pelaku. Sebagian besar pelaku yang terlibat dalam Bom Bali telah mengikuti pendidikan militer di Afghanistan. Tokoh-tokoh seperti Ali Ghufron, Ali Imron, Imam Samudera, Umar Patek, Dulamtin, dan lainnya, adalah individu-individu yang memiliki simpati tinggi terhadap kondisi rakyat Palestina.
Oleh karena itu, mereka dengan sukarela memilih untuk mengikuti dan menjalani pelatihan militer di Afghanistan, yang dikenal sebagai Akademi Militer Mujahiddin Afghanistan. Setelah lulus dari akademi tersebut, mereka merasa bahwa pengetahuan yang mereka peroleh harus diimplementasikan, dan sebagai hasilnya, mereka mulai menciptakan serta mencari jalur jihad mereka sendiri. Dengan pengetahuan yang dimiliki dan tekad untuk menerapkan ilmu tersebut, mereka mulai membangun cara-cara jihad yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Bom Bali dianggap sebagai bentuk balasan terhadap serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya terhadap umat Muslim di Afghanistan dan Somalia. Selain itu, pengeboman di Bali dijelaskan sebagai upaya untuk membalas dan melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Argumen ini tidak dilontarkan tanpa dasar yang jelas, terutama oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Afganistan.