Papungan Village is one of the villages in Kanigoro District, Blitar Regency which is famous for tilapia fish as a village icon. The formation of BUMDes is a way to take advantage of the Law which gives authority to the village government to innovate in village development, especially to improve the village economy and welfare. for village people.Â
In fact, many villages have failed to achieve equal distribution of the village economy with BUMDesa, in practice in several areas, BUMDes have not been able to run effectively and have been able to contribute to the development and empowerment of communities in these villages.Â
This study intends to determine the pattern of utilization of BUMDes fund by taking a case study in Papungan Village, Kanigoro District, Blitar Regency. The objectives of this study are:First, to determine the form of involvement of village officials and the Papungan Village community in the utilization of BUMDes funds. Second, to find out the pattern of utilization of BUMDes funds in Papungan Village. Third, to find out the contribution of BUMDes in Papungan Village in the development and empowerment of village communities. The method in this study is a quantitative descriptive research. By conducting interviews with questionnaires from several residents, the village head and also his staff.Â
The results of the study show that community participation in BUMDes activities is still lacking because the community's knowledge of the BUMDes program is still small. and also community empowerment is still not optimal due to a number of obstacles, especially the BUMDes budget.
1. Latar Belakang
Berbagai upaya pengembangan ekonomi pedesaan telah lama dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai program. Namun, upaya ini secara kumulatif belum berhasil. Banyak faktor yang menyebabkan gagalnya program-program tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan gagalnya program adalah intervensi Pemerintah yang terlalu besar dan kemudian mengakibatkan menghambatnya daya kreativitas dan inovasi masyarakat desa dalam mengelola dan menjalankan mesin ekonomi tidak berjalan efektif. Selain itu juga berimplikasi pada ketergantungan terhadap bantuan Pemerintah, sehingga mematikan semangat kemandirian.Â
Berdasarkan pengalaman selama ini, diharapkan ada pendekatan baru yang mampu menggerakkan roda perekonomian pedesaan dengan mendirikan lembaga lembaga ekonomi yang akan dikelola sepenuhnya oleh masyarakat pedesaan. Lembaga ini tidak lagi dibangun atas dasar instruksi pemerintah, akan tetapi berdasarkan keinginan masyarakat pedesaan. Suatu hal yang dihasilkan dari potensi yang dikelola dengan baik, akan menghasilkan permintaan di pasar. Kami berharap dengan didirikannya lembaga ini dapat membantu memenuhi kebutuhan keuangan konsumtif dan produktif masyarakat. Selain itu, menjadi distributor utama sembako. Dibentuknya suatu lembaga ini, yaitu untuk mendukung kegiatan entitas ekonomi di pedesaan.
Badan Usaha Milik Desa (BUM desa) diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan pelayanan umum kepada masyarakat di desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menyebutkan BUM desa sebagai badan usaha. Pendirian badan usaha tersebut harus disepakati melalui musyawarah desa dan dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan. Hasil badan usaha tersebut akan dimanfaatkan untuk pengembangan usaha dan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang sudah ditetapkan dalam APBDesa.Â
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa "Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa". Substansi UU ini menegaskan mengenai janji pemenuhan permintaan (demand complience scenario) dalam konteks pembangunan tingkat desa. Logika pendirian BUM desa didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUM desa dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, (userowned, user-benefited, and user-controlled), transparansi, emansipatif, akuntable, dan sustainable dengan mekanisme member-base dan self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUM desa harus dilakukan secara profesional dan mandiri.
BUM desa sebagai badan hukum, dibentuk atas dasar tata perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUM desa dapat beragam di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan lebih lanjut tentang BUM desa diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa tujuan pendirian BUM desa antara lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADesa). Oleh karena itu, setiap Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM desa).
Melalui cara demikian diharapkan keberadaan BUM desa mampu mendorong dinamisasi kehidupan ekonomi di pedesaan. Peran pemerintah desa adalah membangun relasi dengan masyarakat untuk mewujudkan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM), sebagai bagian dari upaya pengembangan komunitas (development based community) desa yang lebih berdaya. Pengertian BUM desa