Suatu ketika ada pemuda dari kampung yang bernasib kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama. Orangnya berbadan kecil tapi tak kurus, tingginya tak sampai 165 cm. Rambutnya lurus, tatapan matanya tajam, cukup cepat jika berjalan.Â
Penampilannya sungguh berbeda dari yang lain. Dia tak suka mengikuti tren mode yang disukai anak muda, lebih suka berpenampilan sederhana layaknya anak yang kurang gaul.Â
Dia tinggal tak jauh dari kampusnya, biasanya dia berjalan 15-20 menit untuk sampai kesana. Maklum saja, dia tak punya kendaraan dan tak bisa mengendarainya jika memang ada yang memberi pinjam. Namun, dia selalu menikmatinya. Dia anggap itu menjadi berkah bagi temannya yang berbaik hati untuk mengantar dan menjemputnya.
Aktif kuliah dan kegiatan kampus adalah hal biasa baginya. Memang itu menjadi pengalaman berharga, namun hatinya terketuk untuk mengurusi lembaga pendidikan yang ada di dekat kosannya. Bahkan tak jarang dia terpaksa untuk izin tidak ikut kegiatan kemahasiswaan hanya karena ingin memberikan yang terbaik buat lembaga itu. Baginya, yang penting kuliahnya jangan sampai terbengkalai.
Di lembaga pendidikan itu dia tak hanya mengajar, tetapi diberikan amanah menjadi ketua. Dalam istilah disana, dia diberikan tanggungjawab sebagai Direktur, anggap saja jadi kepala sekolahnya. Wajar kiranya dia punya kegiatan yang berbeda dari yang lain.
Jabatannya tersebut membuatnya harus mengikuti kegiatan yang dilakukan dalam berbagai tempat di kecamatan, di kota maupun di tingkat provinsi. Di awal masa tugasnya, dia tidak tahu lokasi dimana tempat kegiatan dilangsungkan. Maklum saja, teknologi belum canggih sehinga infromasi yang ada belum cukup untuk memandu perjalanan sendiri. Akhirnya dia diantar sahabatnya yang lebih tahu area itu.
Seiring waktu, dia tak mau merepotkan orang lain dalam setiap kegiatannya. Dia selalu menikmati setiap langkah kakinya menuju lokasi kegiatan. Meskipun demikian, seringkali dia justru menjadi yang pertama kali datang di lokasi acara.Â
Dia terus berjalan, tak peduli dengan rasa lelah yang melanda. Semuanya kalah dengan semangat pengabdiannya dalam memajukan lembaga itu. Hingga suatu ketika dia mendapati undangan kegiatan di tingkat kota.
Lagi-lagi dia tidak mengetahui jalur menuju kesana, tak ada angkutan kota yang melayani. Adanya taksi, tapi tak mungkin baginya untuk bermewah-mewah naik taksi. Tentunya akan mahal, memaksa dia untuk merogoh kocek dalam-dalam. Untungnya ada seniornya yang menawarkan untuk memboncengnya ke lokasi hingga kembali.
Acara di kota begitu rutin dilangsungkan. Lokasi acara cukup jauh untuk berjalan kaki, berkali-kali dia selalu minta tolong untuk diantar dan selalu ada yang bisa mengantarnya. Hingga suatu ketika tak ada yang bisa mengantarnya. Berhubung sudah hafal jalan menuju ke lokasi, dia putuskan untuk mencoba kesana dengan berjalan kaki.Â
Dia pun berangkat menuju tempat kegiatan. Dia nikmati jalan kaki tersebut dengan motivasi tinggi. Jangan sampai tak datang pada acara itu, karena acara sangat penting dan tak boleh diwakilkan. Dia menyusuri trotoar demi trotoar hingga berjumpa dengan beberapa lampu merah.Â
Cuaca begitu panas, tak lazim bagi orang untuk berjalan kaki melintasi beberapa pertigaan dan perempatan jalan raya. Namun dia terus berjalan, tak ada yang menyapa. Dia hanya sesekali memberikan senyum manisnya kala terpaksa lewat dihadapan orang-orang yang duduk di pinggiran.
Dia berjalan dengan cukup cepat, tak ada teman bicara. Mungkin dia dianggap mahasiswa yang baru saja pulang kuliah. Akhirnya setelah berjalan hampir 50 menit, dia tiba di lokasi acara dengan selamat. Sungguh kenikmatan tersendiri baginya sampai di lokasi dengan berjalan kaki.Â
Selepas acara, dia pun kembali merencanakan untuk pulang dengan berjalan kaki kembali. Panas matahari semakin menyengat seiring dengan bertambah siangnya hari. Agar tidak ketahuan berjalan kaki, dia sengaja menunggu orang-orang pulang terlebih dahulu.
Setelah cukup sepi, dia bersiap untuk berjalan kaki kembali. Tetapi ternyata masih ada temannya yang belum pulang. Temannya melihatnya sudah keluar gerbang dengan berjalan kaki, hingga dia ditanya pulang bareng siapa. Karena temannya tahu bahwa dia tidak diantar, dia diajak temannya untuk pulang bersama menggunakan motor. Dia pun menerima tawaran temannya untuk pulang bareng.
Benar-benar menjadi pengalaman yang tak terlupakan baginya. Kalau hanya di kawasan kecamatan, dia hampir selalu berjalan kaki baik pagi, siang, sore maupun malam. Tak ada kata lelah dalam dirinya, dia selalu menikmatinya. Lelahnya hari itu kan hilang setelah dia terbangun dari tidurnya.
Perjuangannya lebih dibandingkan dengan yang lain. Keringatnya menjadi saksi akan pengabdiannya yang tak lekang oleh jarak dan waktu. Keterbatasannya dalam hal transportasi tak mampu memaksanya untuk meninggalkan tanggungjawabnya.Â
Jika ada yang membantunya, dia telah membukakan jalan kebaikan bagi yang lain. Jika tidak ada yang membantunya, sejatinya itulah bantuan untuknya sebagai bukti bahwa dia telah berjuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H