Mohon tunggu...
Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Mhd. Zaki, S.Sos., M.H. Mohon Tunggu... -

Tidak mudah untuk bisa jujur, yang mudah itu justru mengaku jujur. Paling tidak tulisan yang ada di sini adalah sebagai salah satu usaha untuk belajar jujur. Abdi Negara di Kantor Bahasa Prov. Jambi, Dosen Politeknik Jambi, Owner Pustaka Ken Dee [dot] Net

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dominasi Jabatan Politik

9 April 2013   21:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:27 1523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ancaman untuk Jabatan Karier)

Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Di banyak literatur, istilah jabatan politik baru populer setelah zaman reformasi itu digulirkan. Yakni pasca lengsernya Soeharto sebagai penguasa orde baru pada waktu itu. Sebelum zaman reformasi, istilah jabatan politik belum begitu akrab di telinga publik. Pada zaman itu istilah untuk menyebut jabatan politik lebih dikenal dengan istilah jabatan negara, dan pejabatnya disebut dengan pejabat negara. Sampai hari ini istilah untuk pejabat negara sepertinya diwarisi oleh pemerintahan sekarang, ini dibuktikan dengan masih seringnya kita dengar istilah tersebut.

Secara sederhana jabatan politik bisa dimaknai sebagai jabatan yang ditentukan oleh sebuah proses politik. Dalam hal ini bisa dicontohkan untuk di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, kita mengenal proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur di tingkat provinsi serta pemilihan bupati/wali kota beserta wakil di tingkat kabupaten dan kota.

Jabatan seperti kepala daerah baik itu gubernur, bupati/wali kota beserta wakil di atas merupakan jabatan politik. Karena merupakan jabatan politik, maka ada kewenangan yang melekat dari jabatan tersebut. Jabatan seperti gubernur, bupati/wali kota di daerah dalam hal menentukan posisi jabatan di lingkungan pemerintah daerah baik itu untuk posisi Sekretaris Daerah (Sekda), posisi untuk menduduki jabatan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjadi kewenangan dari masing-masing kepala daerah baik itu gubernur, bupati maupun wali kota dengan meminta pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).

Karena seorang kepala daerah itu dipilih secara politik, tentu saja dalam menentukan siapa saja mereka yang akan duduk untuk menjadi Sekda maupun menjadi pejabat eselon di SKPD, sang kepala daerah tidak bisa lepas begitu saja dari yang namanya pengaruh politik. Akan selalu ada hitung-hitungan ketika hendak menempatkan seseorang di posisi tertentu di birokrasi. Karena ini akan berkaitan dengan kepentingan sang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan selama menjabat. Kalau sudah demikian tentu hal seperti ini akan mencemari sistem kerja di birokrasi khususnya di lingkup pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota.

Yang sering terjadi dan dikeluhkan dalam proses pengangkatan dan pemutasian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di hampir seluruh daerah selama ini adalah adanya kesan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah mengabaikan pertimbangan dari Baperjakat yang memiliki tugas melakukan pemeriksaan yang menyangkut syarat administrasi, melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi kepada PPK dalam hal yang berkaitan dengan kenaikan pangkat, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan struktural. Namun sang kepala daerah nampaknya lebih mempertimbangkan “bisikan” dari tim sukses yang telah berjuang memenangkan sang kepala daerah tersebut sebagai bentuk balas jasa dari pada mendengarkan pertimbangan Baperjakat.

Dominasi Jabatan Politik yang Mengancam
Sering kita jumpai mereka yang menduduki jabatan karier setelah pergantian kepala daerah banyak pejabat karier yang dipindahkan bahkan ada yang sampai dinon-jobkan. Padahal memiliki prestasi yang  boleh dibilang baik. Akibatnya, para pejabat karier menjadi merasa tidak tenang dan tidak nyaman dalam bekerja. Implikasi lebih luasnya akan berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat.

Berapa banyak Sekda dan pejabat eselon yang di non-jobkan karena imbas dari pergantian kepala daerah. Kalau diamati  hal tersebut bukanlah persoalan ketidakmampuan, akan tetapi menurut hemat penulis hal ini lebih pada persoalan politik yang di dalamnnya ada persoalan suka atau tidak suka. Tentunya kita tidak menginginkan proses mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu berlangsung dengan semena-mena dengan mengabaikan pertimbangan dari Baperjakat.

Sebagai akibat dari begitu dominannya jabatan politik yang dimiliki oleh pejabat politik seperti gubernur, bupati/wali kota sangat memungkinkan pengangkatan pejabat karier seperti Sekda dan kepala SKPD itu disusupi oleh kepentingan politik tertentu dengan mengeyampingkan ketentuan yang seharusnya dipenuhi.

Kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala kepala daerah dalam menentukan siapa saja mereka yang akan duduk di jabatan struktural tertentu untuk mengisi jabatan karier yang dikenal dengan istilah eselon dengan mengabaikan berbagai pertimbangan dan persyaratan administratif harus diakui sebagai ancaman tersendiri bagi pejabat karier. Karena bisa saja mereka yang akan menduduki jabatan struktural tertentu di lingkup pemerintah daerah tidak melalui mekanisme yang telah ditentukan.

Birokrasi Harus Netral
Secara teori birokrasi sifatnya adalah netral. Dalam pengertian ia tidak memihak pada golongan ataupun kepentingan tertentu. Ia seharusnya terbebas dari muatan politik, berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Birokrasi intinya berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Namun dengan adanya dominasi jabatan politik terhadap jabatan karier akan menjadikan orang yang duduk di jabatan karier tersebut menjadi tidak netral karena persoalan balas budi terhadap pengangkatan dan penempatan atas dirinya pada jabatan karier yang diperolehnya dari kepala daerah sebagai pemegang jabatan politik.

Yang kita khawatirkan dari dominasi jabatan politik adalah hilangnya netralitas dari sistem birokrasi yang sejatinya adalah mengutamakan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi dan golongan. Akhirnya yang menjadi korban tetap masyarakat golongan menengah ke bawah.

Sumber: http://sisilainzaki.blogspot.com/2013/04/dominasi-jabatan-politik.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun